#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Melampaui Dukungan Performatif

Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat saat ini telah melalui proses harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsep di Baleg DPR RI. RUU tersebut siap untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR. Jika sudah sah menjadi RUU inisiatif DPR, maka DPR akan mengirimkan RUU tersebut ke Presiden RI untuk masuk ke tahap pembahasan bersama.

Sebagai RUU inisiatif DPR, Presiden RI nantinya akan menunjuk menteri-menteri terkait untuk membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) menanggapi naskah RUU dari DPR. Pasal per pasal akan dinilai oleh pemerintah cq kementerian-kementerian terkait apakah telah sesuai dengan kepentingan masing-masing kementerian. Untuk itu, kita perlu melihat sikap kementerian sejauh ini mengenai RUU Masyarakat Adat.

Dalam Talkshow RUU Masyarakat Adat yang diselenggarakan oleh Kemitraan dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, setidaknya kita bisa mengetahui sikap beberapa kementerian terkait RUU Masyarakat Adat. Perwakilan berbagai kementerian hadir untuk memberikan tanggapan terhadap RUU Masyarakat Adat, diantaranya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Sosial. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak menghadiri undangan.

Dari pemaparan para pejabat administratif yang mewakili kementerian, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kementerian-kementerian terkait memberi dukungan terhadap RUU Masyarakat Adat, serta sektoralisme juga dirasakan oleh pejabat-pejabat di kementerian dalam menjalankan pelayanan publik untuk masyarakat adat. Sehingga sektoralisme tersebut perlu diatasi oleh RUU Masyarakat Adat.

Dukungan DPR (dengan 8 fraksi menyetujui RUU untuk dibawa ke paripurna) dan ekspresi dukungan pejabat-pejabat kementerian memang angin segar setelah perjuangan panjang masyarakat, terutama AMAN, yang bertahun-tahun mendorong pengesahan RUU tersebut. Setelah ini, kita semua harus memastikan dukungan pejabat legislatif dan eksekutif bukan sekedar performatif. Secara substansi, harus dipastikan apakah semangat penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat tergambar di draft RUU yang akan dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah.

Dari draft sejauh ini misalnya, terdapat beberapa aturan yang belum sesuai dengan aspirasi masyarakat sipil, misalnya dalam laporan panja salah satunya diatur mengenai evaluasi setiap 5 tahun. Perlu juga melihat pandangan DPR dan pemerintah terkait konsep-konsep kunci berkaitan dengan masyarakat adat. Misalnya, bagaimana pengaturan mengenai kedudukan masyarakat adat sebagai subjek hukum? Bagaimana pengaturan mengenai kedudukan wilayah adat? Apakah sudah sepaham dengan keinginan masyarakat adat? Apakah sudah sesuai dengan Putusan MK 35/2012 dan TAP MPR IX/2001? Nyatanya, salah satu pejabat administratif masih memahami hak atas wilayah adat sebagai hak privat saja.

Sektoralisme juga tidak akan teratasi jika pejabat-pejabat di kementerian masih menginginkan RUU Masyarakat Adat untuk mengikuti kerangka normatif undang-undang sektoral dan peraturan pelaksananya. Hal ini misalnya tergambar dari pemaparan beberapa pembicara yang meminta RUU Masyarakat Adat disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya, misalnya peraturan di sektor kelautan dan perikanan.

Ada banyak substansi RUU Masyarakat Adat yang perlu kita kawal bersama. Perlu dipastikan bahwa dukungan dari pejabat legislatif dan eksekutif juga disertai pemahaman yang memadai dan sama dengan kepentingan masyarakat adat, supaya RUU yang sudah diharapkan penetapannya bertahun-tahun ini bisa menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hak masyarakat adat yang terjadi di lapangan. RUU Masyarakat Adat memang urgen, tetapi lebih penting dari itu, pembahasan harus dilakukan dengan hati-hati supaya kepentingan masyarakat adat diakomodasi. Hak masyarakat adat atas FPIC juga penting untuk dipertimbangkan. Ini berarti, dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat, masyarakat adat berhak untuk dilibatkan dan dimintakan persetujuannya mengenai pasal-pasal dalam RUU sebelum disahkan. Bukan hanya melibatkan ketua adat, segenap perwakilan anggota masyarakat adat pun patut dilibatkan dan dimintai persetujuannya. Misalnya perempuan adat, derita, kepentingan, dan aspirasi perempuan adat tentu baru akan terwakili ketika perempuan adat diberi ruang untuk menyuarakan sendiri pengalaman dan pemikirannya.

Jangan sampai, nasib RUU Masyarakat Adat seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 2013. Semangat awal UU untuk melindungi petani bertolakbelakang dengan substansi pasal-pasal yang akhirnya disahkan. Substansi yang akhirnya disahkan menjadi UU pun berbeda dengan draft yang diusulkan oleh masyarakat sipil. Hal ini karena dalam membahas RUU, DPR dan pemerintah tidak boleh asik sendiri. Ada banyak pihak yang bisa dilibatkan dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat nantinya, utamanya masyarakat adat itu sendiri.

 

Format pdf silahkan unduh di sini.

Publikasi lainnya dapat diakses di portal publikasi HuMa.

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.