#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

RUU Cipta Kerja Memperumit Pemenuhan Hak Atas Wilayah Masyarakat Hukum Adat

 

Pada 10 Maret 2020, Perkumpulan HuMa Indonesia menyampaikan hasil kajiannya terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kajian ini menemukan frasa-frasa yang tidak seragam di dalam RUU tersebut, terkait pengaturan masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adatnya. Misalnya konteks subjek hukum, terdapat frasa masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional. Sedangkan untuk mengatur wilayah adat, misalnya terdapat frasa hak ulayat, hak tradisional, wilayah adat, wilayah kelola masyarakat hukum adat, desa adat, dan kawasan adat.

Selain itu, terdapat 3 (tiga) pengaturan yang tidak seragam berkaitan dengan prosedur pengakuan masyarakat hukum adat dalam RUU Cipta Kerja, yaitu: (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) diserahkan kepada pemerintah pusat; dan (3) harus melalui peraturan daerah. Selain melestarikan ketidakjelasan prosedur, kewenangan, pada tingkat mana dan dengan produk hukum apa pengukuhan masyarakat hukum adat, pengaturan di atas juga melanggengkan ‘pengakuan bersyarat’ bagi masyarakat hukum adat. Karena terdapat syarat prosedural untuk mengakui masyarakat hukum adat secara hukum, yaitu harus terlebih dahulu ditetapkan melalui produk hukum.

Perbedaan frasa-frasa tersebut terjadi karena di dalam berbagai undang-undang sektoral yang diubah oleh RUU ini memang menyebutkan istilah yang berbeda tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, dan ternyata persoalan itu dilanggengkan oleh RUU ini. RUU ini tidak memanfaatkan momentum untuk mengurangi ego sektoral pengelolaan sumber daya alam dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat,” ungkap Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia.

Dr. Rikardo Simarmata juga mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) poin utama dalam RUU Cipta Kerja ini yaitu: (1) pendapat hukum yang dibuat oleh HuMa kurang lebih menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang berubah mengenai pengaturan MHA di RUU Cipta Kerja ini dengan berbagai undang-undang yang ingin diubahnya. Ini melanggengkan existing legal framework yang bercirikan sektoralisme, disharmoni, kabur, dan pengakuan setengah hati (pengakuan bersyarat). (2) Ketidakjelasan RUU ini dalam mengatur MHA yang dihubungkan dengan investasi menimbulkan pertanyaan politik hukum. (3) Ada satu paradigma yang secara implisit di belakang penyusunan RUU Cipta Kerja yang mengisyaratkan bahwa aturan hukum determinan, dan bila ada UU, maka semua orang akan berperilaku seperti yang dimaksud oleh UU. Pemikiran di atas merupakan pengaturan pelaksana, dan aktor dan kelompok terdampak sebagai penentu untuk implementasi aturan hukum yang efektif.

Kesimpulannya “Melihat substansi pengaturan mengenai masyarakat hukum adat di dalam RUU Cipta Kerja, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang pemerintah untuk menyelesaikan tumpang tindih pengaturan, ternyata sama sekali tidak menyelesaikan sektoralisme pengaturan masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat. Kedua, ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat yang dilanggengkan oleh RUU Cipta Kerja, menyebabkan masyarakat hukum adat rentan menjadi korban perampasan tanah demi kepentingan investasi. Ketiga, RUU ini tidak bisa diharapkan untuk mendorong penyelesaian konflik penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam yang senantiasa merugikan masyarakat hukum adat,” tutup Dr. Kurnia Warman, pakar hukum adat Universitas Andalas.

 

Hasil kajian terhadap RUU Cipta Kerja dapat diunduh di sini.

Publikasi lainnya dapat diakses di portal publikasi HuMa.

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.