*Laporan dari Supriadi dan Wardathul Zanna (RMI).
Pada 16-18 November 2018, Perkumpulan HuMa Indonesia (HuMa) dan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) menyelenggarakan kegiatan Sekolah Lapang Hutan Adat (SLHA) di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Materi disampaikan di kantor desa lama, dan praktikum dilakukan di lapangan depan pemakaman warga. Bukan di hotel-hotel mewah, seperti acara-acara yang dilakukan para pembangun desa di bulan Oktober hingga Desember, tatkala anggaran belum terserap banyak.
Hari Pertama, 16 November 2018.
Peserta berjumlah 28 orang, terdiri dari 10 orang perempuan dan 18 orang laki-laki.
Kegiatan sekolah lapang dibuka oleh Koh Indra (RMI) sebagai fasilitator, dengan mengenalkan tujuan umum kegiatan Sekolah Lapang Hutan Adat, supaya peserta kegiatan dapat memahami makna dan tujuan belajar kegiatan. Kemudian peserta bersama fasilitator saling berkenalan dengan cara menyebutkan: nama panggilan – makanan favorit – idola/tokoh favorit. Setelah perkenalan, peserta diminta untuk menuliskan harapan dan kekhawatirannya terhadap kegiatan, yang lalu dibacakan masing-masing oleh peserta.
Sesi kedua, peserta diajak bermain “Deskripsi Kata”, difasilitasi oleh Supriadi dan Warda (RMI). Peserta dibagi ke dalam kelompok, masing-masing beranggotakan 3 orang. Setiap kelompok diminta menuliskan dan menjelaskan kata-kata yang familiar dengan kasepuhan. Misalnya rendangan (percabangan Masyarakat Adat Kasepuhan), bintang kidang dan bintang kerti (bintang tujuh dan bintang tiga, yang menjadi tanda bagi petani untuk mulai bercocok tanam), leuit kasepuhan (lumbung padi untuk menyimpang pare gede), pare gede (varietas padi berbulir besar yang ditanam Masyarakat Adat Kasepuhan), Dewi Sri (dewi padi yang dipercaya memberikan kesuburan pada lahan dan pertanian), dan seterusnya. Pada proses presentasi kelompok, setiap peserta dan fasilitator dipersilakan untuk bertanya atau menambahkan informasi. Disinilah terjadi proses saling belajar.
Sesi ditutup dengan refleksi dari masing-masing peserta mengenai informasi-informasi yang baru mereka pelajari. Peserta merasa terbantu karena dapat mendalami berbagai istilah-istilah adat yang selama ini hanya mereka dengar.
Sesi ketiga adalah paparan materi mengenai Sejarah Masyarakat Adat Kasepuhan, oleh Koh Indra (RMI). Materi yang disampaikan mulai dari sejarah Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda-Galuh (Pajajaran) dan catatan-catatan (prasasti) mengenai kerajaannya, proses penyebaran Islam di wilayah Banten dan pengaruhnya pada kelompok masyarakat pada saat itu, runtuhnya Sunda-Galuh tahun 1579 M, setelah Kerajaan Pajajaran muncul Kesultanan Banten dan Tembong Buana, beberapa migrasi besar yang terjadi ke pedalaman Halimun (salah satunya laskar pasukan Kerajaan Pajajaran tahun 1579 M karena kerajaannya runtuh), Pancer Pangawinan dan Pancer Mandiri, pedoman-pedoman hidup Masyarakat Kasepuhan (doa amit; jalan tengah; berbuat baik, menepati janji, tolong menolong), filosofi dalam mengelola lingkungan (gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan jeung datar imahan), pengaturan tata ruang (leweung titipan, leweung tutupan, sempalan).
Dari materi kita mengetahui pelbagai macam istilah dalam Kasepuhan, diantaranya: sepuh (tua) – kolot – olot, merujuk pada kelompok yang dipimpin oleh sesepuh (kokolot/abah). Menurut Kesatuan Adat Banten Kidul (Sabaki) terdapat 522 (kelompok) kasepuhan, pada wilayah 116.789 hektare. Terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada dalam dan/atau berbatasan langsung dengan TNGHS. Menurut RMI (2004), ada 35 (kelompok) kasepuhan dengan 7 (kelompok) kasepuhan utama. Pertanian: cultuurstelsel (abad 17-20), budaya bersawah, dan pada 1942, pemerintahan Jepang menganjurkan mengganti tanaman perkebunan dengan tanaman pangan. Kekhasan pertanian kasepuhan dan pengawetan di leuit.
Hari Kedua, 17 November 2018.
Peserta berjumlah 28 orang, terdiri dari 10 orang perempuan dan 18 orang laki-laki. Kegiatan diawali dengan ice breaking Tugu Pancoran, dan review materi hari pertama oleh peserta.
Sesi kedua adalah paparan materi Pemetaan Sosial, oleh Agung Wibowo (HuMa). Sesi diawali dengan menggali pengetahuan peserta terkait Hutan Adat yang sedang diajukan oleh Kasepuhan Pasir Eurih.
Materi pemetaan sosial merupakan dasar-dasar untuk mengorganisir kelompok, masyarakat, bahkan diri sendiri. Metode-metode dalam pemetaan sosial, antara lain:
- Tipologi Komunitas.
Identifikasi keberadaan tipologi komunitas: Siapa yang berdiam di dalam dan di sekitar desa? Sejak kapan mereka tinggal di lokasi itu? Mengapa mereka tinggal di lokasi itu? Bagaimana perkembangan kehidupan warga saat pertama hingga saat ini?
Metode identifikasi tipologi komunitas menggunakan Alur Sejarah, yakni dengan menguraikan hal-hal penting yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Terdiri atas dua kolom utama. Kolom kiri berisi tahun penting, dan kolom kanan berisi uraian peristiwa yang terjadi pada tahun penting tersebut. Data yang digunakan dalam metode alur sejarah berasal dari lisan atau hasil pemaparan pakar peristiwa.
- Kelembagaan Sosial.
Identifikasi kelembagaan komunitas: Lembaga apa yang terbentuk di masyarakat? Bagaimana pengaruh lembaga tersebut terhadap masyarakat? Seberapa besar pengaruh lembaga tersebut di masyarakat? Jarak lembaga tersebut dengan masyarakat?
Metode identifikasi kelembagaan menggunakan Diagram Venn. Digambarkan menggunakan lingkaran dan garis yang terhubung antar lingkaran masyarakat dan lingkaran kelembagaan. Komponen masyarakat digambarkan di posisi tengah dengan ukuran yang paling besar. Selanjutnya di sekitar lingkaran masyarakat digambar beberapa lingkaran-lingkaran lembaga yang terdapat di sekitar masyarakat. Semakin besar lingkaran menandakan bahwa lembaga tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.
Jauh dekatnya lingkaran menandakan jarak lembaga tersebut dengan pusat pemukiman masyarakat. Semakin jauh jarak lingkaran dengan masyarakat menandakan letak lembaga tersebut semakin jauh dengan pemukiman masyarakat.
Pada gambar akan terdapat sebuah garis merah putus-putus yang mengelilingi lingkungan masyarakat. Garis tersebut menandakan batas administrasi wilayah desa. Lingkaran lembaga yang berada di luar garis merah menandakan bahwa lembaga tersebut berada di luar area desa, namun masih memiliki pengaruh dengan desa.
- Analisa Aktor.
Untuk mengetahui aktor-aktor penting yang berperan dalam sebuah lembaga, dan aktor lain yang memiliki pengaruh terhadap kebiasaan penduduk desa. Metode Diagram Venn bisa digunakan untuk menganalisa aktor.
- Analisa Gender.
Untuk mengetahui peran dan jumlah gender dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang umum dilakukan oleh masyarakat desa. Analisa gender dapat dilakukan dengan menggunakan tabel gender.
- Analisa Tenurial.
Tenurial merupakan ruang dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, baik itu konflik, kepemilikan, dan sumber daya yang terdapat di atas dan di dalam ruang. Hal-hal yang diidentifikasi melalui analisa tenurial dan konflik antara lain: sumber daya yang terdapat di dalam ataupun di atas tanah, kegiatan pengelolaan sumber daya, menemukan sistem penguasaan tanah, siapa saja yang memiliki tanah, bagaimana hubungan antar pemilik tanah, bagaimana mereka menggunakan dan memanfaatkan tanah, tumpang tindih dalam klaim tanah, menghindari terganggunya hak atau akses masyarakat ketika restorasi dilakukan.
Metode untuk melakukan analisa tenurial dan konflik adalah Sketsa Kasepuhan. Peserta langsung mempraktikkan metode ini secara berkelompok.
- Analisa Konflik.
Analisa konflik dilakukan untuk mengindentifikasi permasalahan yang menyebabkan konflik di masyarakat. Sebab-sebab konflik yang diidentifikasi menyangkut: Apa permasalahan yang memicu konflik? Pihak dan lembaga mana saja yang terlibat konflik? Siapa pihak atau lembaga yang dirugikan dalam konflik? Siapa pihak atau lembaga yang memicu terjadinya konflik? Bagaimana solusi terbaik dalam penyelesaian konflik?
Dalam analisa konflik peserta diajak untuk bermain peran. Peserta diminta untuk menyelesaikan konflik antar dua desa yang saling berselisih akibat adanya perusahaan sawit yang masuk ke salah satu desa, dan mencemari lingkungan desa yang lain. Di akhise sesi, peserta sudah mampu mengidentifikasi permasalahan, lembaga atau pihak yang terlibat, dan jalan tengah penyelesaian konflik.
Hari Ketiga, 18 November 2018.
Peserta berjumlah 26 orang, terdiri dari 10 orang perempuan dan 16 orang laki-laki. Kegiatan diawali dengan review materi hari kedua oleh peserta.
Sesi dilanjutkan dengan permainan kartu merah dan kartu hijau, yang dipandul oleh Sifu dan Koh Indra (RMI). Peserta dibagi dalam 5 kelompok, dan setiap orang di dalam kelompok memegang kartu merah dan hijau. Tujuan permainan adalah untuk melihat kekompakan peserta di dalam kelompok, kekompakan antar kelompok, dan koordinasi antar kelompok. Nilai tertinggi yang bisa didapat oleh masing-masing kelompok dari 10 kali permainan adalah 30 poin. Di akhir permainan, tidak satu kelompok pun mendapat poin tertinggi. Karena tiap kelompok hanya berusaha menunjukkan eksistensi diri, dan tidak saling berkoordinasi demi mencapai tujuan yang sama.
Jika dianalogikan dengan kasepuhan, kelompok-kelompok tadi adalah desa-desa dalam sebuah kasepuhan. Terkait dengan proses untuk mendapatkan hak pengelolaan atas Hutan Adat, masyarakat harusnya mampu melakukan koordinasi demi mencapai tujuan bersama.
Sesi terakhir dari kegiatan Sekolah Lapang Hutan Adat adalah identifikasi permasalahan kasepuhan di Desa Pasir Eurih, dan perencanaan solusi permasalahan. Selain mengajak peserta untuk aktif memikirkan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, peserta juga diajak untuk memikirkan solusi dari permasalahan yang ada, dan fasilitas apa yang dibutuhkan.
Informasi-informasi yang disampaikan peserta pada sesi ini akan menjadi ide bagi fasilitator untuk merancang kegiatan SLHA seri kedua. Misalnya prioritas kebutuhan dan/atau masalah apa yang dihadapi Masyarakat Adat di Kasepuhan Pasir Eurih, lalu keterampilan/kegiatan apa yang perlu difasilitasi di SLHA seri kedua.
0 Komentar
Tinggalkan Balasan