Perubahan iklim telah berdampak nyata terhadap kehidupan masyarakat adat dan lokal di Indonesia yang penghidupannya sangat bergantung pada alam. Di Indonesia, pelepasan emisi terbesar disumbang oleh kerusakan hutan akibat dorongan privatisasi sumber daya alam melalui korporasi tambang, kehutanan, perkebunan, dan sebagainya yang menghancurkan ekosistem, termasuk ruang-ruang hidup komunitas di dalamnya, dan membentuk sistem produksi komoditas yang menguras sumber daya alam tanpa ampun. Ironisnya, negosiasi iklim di tingkat global dan nasional didominasi oleh kebijakan hukum yang teknokratik. Akar persoalan perubahan iklim yang berasal dari pembangunan yang boros sumber daya alam justru dijawab dengan desain teknis dalam bentuk pengembangan kapasitas, pembentukan pasar, dan teknologi. Kita terjebak dalam mekanisme kapitalisme karbon.
Relevansi dengan HuMa
Perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi keselamatan masyarakat adat dan lokal, baik dari segi dampak maupun cara mengatasinya melalui kebijakan dan instrumen lainnya. Namun, skema menghadapi perubahan iklim saat ini melalui REDD+ justru mengebiri proses-proses demokrasi dalam pembentukan hukum. Dalam situasi ini, isu perubahan iklim sangat relevan bagi HuMa baik dalam upaya memperkuat hak masyarakat maupun mengkritisi skema mengatasi perubahan iklim yang potensial merampas hak-hak masyarakat.
HuMa telah menempuh jalan penelitian atas berbagai isu perubahan iklim, pemantauan atas implementasi REDD+ dan moratorium logging dan lahan gambut, partisipasi dalam jaringan berskala global, nasional, dan lokal, terhadap skema-skema REDD plus, dan kesemua itu telah menempatkan HuMa sebagai suatu lembaga masyarakat sipil yang otoritatif dalam mengkaji konsep dan implementasi skema-skema perubahan iklim di Indonesia. HuMa telah mengedepankan kritik-kritik atas skema-skema perubahan iklim yang dikemukakan di atas, dan mengedepankan pentingnya hak-hak masyarakat dan Free and Prior Informed Consent (FPIC) dalam implemetasi REDD+.
Sikap HuMa
Berdasarkan relevansi tersebut di atas, HuMa berkesimpulan bahwa permasalahan mendasar dari perubahan iklim adalah: 1.) eksploitasi sumber daya alam besar-besaran yang dikemudikan oleh pola konsumsi yang rakus dari negara-negara maju dan imitasinya secara utuh oleh kelas baru kapitalisme di negara-negara berkembang; 2.) respon teknokratik dan logika komodifikasi yang ditujukan untuk mengatasi perubahan iklim; dan 3) model alternatif yang ditawarkan oleh masyarakat melalui cara pengelolaan sumber daya alam yang lestari belum dilirik sebagai salah satu solusi jitu di tingkat tapak.
Berdasarkan kesimpulan di atas, HuMa berposisi sebagai berikut: 1.) HuMa berpandangan masalah perubahan iklim harus dijawab melalui pengembangan gerakan untuk keadilan sosial dan ekologis untuk pembaruan hukum; 2.) Pada tingkat lokal, HuMa mendukung gerakan-gerakan pembalikan krisis antara lain dengan mewujudnyatakan praktik-praktik komunitas lokal dan masyarakat adat sebagai pemilik, penjaga dan pengelola wilayah dan layanan ekosistemnya; dan 3.) HuMa mendorong peran-peran komunitas lokal yang didukung oleh PHR untuk mengangkat model penguasaan sumber daya alam yang arif oleh komunitas sebagai solusi atas pengurangan emisi dalam masalah perubahan iklim