#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Meregional dan Mengkonkret, Dialog Percepatan Penetapan Wilayah Adat 2015

Dialog Regional Barat dan Timur terkait Percepatan Penetapan Wilayah Adat di 15 lokasi dampingan HuMa bersama mitra-mitranya (JKMA, Perkumpulan Qbar, Yayasan Akar Bengkulu, KKI Warsi, Rimbawan Muda Indonesia, Lembaga Bela Banua Talino, Padi, Perkumpulan Bantaya, Perkumpulan Wallacea, AMAN Sulsel dan Yayasan Merah Putih Palu) telah dilaksanakan. Dialog Regional Barat dilaksanakan di Padang, 10-11 Juni 2015. Sementara Dialog Regional Timur dilaksanakan di Makassar, 6-7 Juli 2015.

Setelah beberapa kali melakukan dialog serupa di tingkat nasional, yakni Dialog Hutan Adat, Dialog Santika, dan Dialog di Lombok, HuMa dan mitranya melihat bahwa dibutuhkan sebuah pertemuan yang menghadirkan pemda, masyarakat hukum adat, dan lembaga pendamping. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk secara lebih spesifik membahas rencana aksi di masing-masing daerah yang memiliki tahapan perkembangan dan konteks advokasi yang berbeda-beda. Misalnya, dari 15 lokasi wilayah tersebut, ada wilayah yang telah memiliki pengakuan masyarakat hukum adat dalam peraturan daerah, ada yang diakui dalam SK Bupati, dan ada yang masih belum memiliki ketiganya, sebagaimana dapat dilihat dalam matriks berikut.

Pengklasifikasian di atas pada akhirnya menentukan wilayah-wilayah mana yang dalam waktu dekat harus menjadi prioritas, sementara wilayah lainnya perlu mengisi beberapa kelengkapan yang dibutuhkan, misalnya keberadaan peta partisipatif dan mendorong kesiapan lembaga adat. Hal ini penting untuk memenuhi persyaratan-persyaratan legal yang dibutuhkan, serta menjaga stabilitas wilayah adat, agar siap menyongsong status hukum yang baru dengan rencana-rencana pengelolaan wilayah adat tersebut ke depan.

Secara umum, poin-poin kesepakatan yang terbentuk melalui dialog regional tersebut adalah:

  1. Dialog regional hutan adat memperkuat dukungan pemda dan pemahaman para pihak tentang pentingnya mempercepat penyusunan aturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat sebagai prasyarat penetapan wilayah adat dan/atau hutan adat. Aturan daerah pengakuan masyarakat adat tersebut, bisa dalam bentuk Surat Keputusan kepala daerah berdasarkan Permendagri 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, maupun dalam bentuk peraturan daerah berdasarkan UU Desa dan UU Kehutanan.
  2. Dialog regional hutan adat memperkuat dukungan pemda dan kementerian terkait, dan pemahaman para pihak tentang pentingnya sinkronisasi aturan di tingkat pusat, terkait dengan tata cara penetapan wilayah adat dan/atau hutan adat yang lintas sektor. Pemahaman tersebut dibangun atas kesadaran bahwa wilayah masyarakat adat tidak hanya hutan adat (wilayah adat yang berada di kawasan hutan), sehingga proses inventarisasi sampai dengan penetapan hak masyarakat adat atas wilayahnya dilaksanakan secara lintas sektor.
  3. Dialog regional hutan adat menghasilkan rencana aksi bersama antara pemda-pemda, LSM pendamping, dan komunitas masyarakat adat di 15 lokasi hutan adat. Rencana aksi bersama ini terbagi atas tiga kategori berdasarkan situasi pengakuan masyarakat adat oleh aturan daerah.

Dukungan yang terbangun di tingkat lokal bersama pemerintah daerah setempat menjadi pembuka pintu gerbang untuk advokasi selanjutnya. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah gencarnya persiapan pilkada serentak yang menyebabkan banyak energi di tingkat pemerintahan daerah difokuskan ke arena ini. Dalam situasi yang demikian, tentu penerbitan perda tidak menjadi prioritas utama, dan oleh karenanya persiapan pengakuan wilayah adat ini membutuhkan stamina yang ekstra, serta strategi yang pas, terutama dalam membangun tujuan-tujuan antara, seperti pembentukan tim IP4T dan/atau penyiapan usulan rancangan peraturan daerah.

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.