Banda Aceh, 5 Februari 2027 – Ditjen Bina Bangda Kemendagri, bekerja sama dengan Perkumpulan HuMa Indonesia dan Ford Foundation, menggelar Semiloka bertajuk Peranan Pemerintah Provinsi Aceh dan Kabupaten dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Aceh. Semiloka ini bertujuan: Meningkatkan kesadaran bersama terkait tugas dan peran yang dapat diambil oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pengakuan dan perlindungan MHA khususnya yang beririsan dengan kawasan hutan yang nantinya akan masuk dalam kegiatan Perhutanan Sosial, dan terintegrasi kedalam dokumen RTRW; Pembelajaran bersama bagi Pemerintah Aceh dan Kabupaten di Aceh terpilih terkait pengakuan dan perlindungan MHA; Meningkatnya komitmen bersama dalam pengakuan dan perlindungan MHA.
Acara ini dihadiri perwakilan Perkumpulan HuMa Indonesia, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Kabiro Hukum Provinsi Aceh, mewakili Sekda Provinsi Aceh, Kasubdit Kehutanan Direktorat SUPD 1 Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Kasubdit Pertanahan dan Penataan Ruang Direktorat SUPD Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Perwakilan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Tenaga Ahli DPMPD Pemprov Kalimantan Timur, Kepala Bidang Tata Ruang dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Aceh, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pidie, Subdit Kehutanan Ditjen Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Dari Kabupaten, kegiatan ini juga mengundang dan/atau dihadiri perwakilan Kepala Bappeda, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Bener Meriah.
Dalam sambutannya, Susi Fauziah dari Perkumpulan HuMa Indonesia (HuMa) menyampaikan bahwa HuMa bersama Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) telah menjadi bagian dari Koalisi Hutan Adat yang mendampingi proses pengakuan hutan adat di Aceh sejak tahun 2015. Hasil kerja mereka telah membuahkan hasil dengan ditetapkannya lima dari delapan hutan adat di Aceh pada tahun 2023. Saat ini sudah 3 Kabupaten di Aceh yang memiliki produk hukum daerah penetapan komunitas adat untuk 8 komunitas, yaitu Pidie, Aceh Jaya, dan Bireuen. Meski demikian, masih banyak pekerjaan advokasi yang harus dilakukan, termasuk memastikan hutan adat masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta mendorong lebih banyak pengakuan wilayah adat dalam produk hukum daerah. Dalam menjalankan tugasnya, HuMa mendapat dukungan dari Ford Foundation dan bermitra dengan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah.
Kasubdit Kehutanan Direktorat SUPD 1 Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Dyah Sih Irawati, menjelaskan bahwa hutan adat sebagai bagian dari perhutanan sosial telah masuk dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2025-2029. Hal ini bertujuan untuk mendukung kebijakan nasional dalam pengelolaan hutan lestari. Dalam konteks pemerintahan daerah, urusan masyarakat hukum adat diampu oleh empat bidang, yaitu pemberdayaan masyarakat desa, lingkungan hidup, kehutanan, dan pertanahan. Selain itu, Kemendagri juga memiliki rencana aksi dalam Perpres 28/2023 terkait perhutanan sosial, termasuk bertugas asistensi dan evaluasi terhadap pemerintah daerah dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA).
Perlu Dukungan dan Komitmen Provinsi
Muhammad Junaidi, Kepala Biro Hukum Provinsi Aceh, mengungkapkan bahwa saat ini sedang disusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Provinsi Aceh. Kepala Biro Hukum mewakili Sekda Provinsi Aceh berkomitmen untuk memasukkan norma pengakuan masyarakat hukum adat dalam batang tubuh dan narasi lampiran RPJP tersebut. Selain itu, Pemerintah Provinsi Aceh berupaya mengawal pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat di kabupaten yang belum memiliki pengakuan.
Dalam aspek tata ruang, Benny Kamil, Kasubdit Pertanahan dan Penataan Ruang Direktorat SUPD Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, menjelaskan bahwa berdasarkan PP 21 Tahun 2021, diperlukan integrasi tata ruang darat dan laut. Hutan adat harus dipastikan masuk dalam RTRW provinsi dan kabupaten/kota agar memiliki kepastian hukum. Jika belum terakomodasi dalam RTRW yang ada, kawasan hutan adat akan diintegrasikan dalam revisi RTRW berikutnya sesuai dengan Permen ATR/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2021.
Ahmad Suudi menambahkan bahwa di Provinsi Kalimantan Timur, kawasan hutan adat telah dimasukkan dalam RTRW melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2023. Hutan adat ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi sehingga tidak hanya terbatas pada fungsi lindung dan budi daya. Dalam regulasi tersebut, komunitas yang memiliki hutan adat disebutkan secara rinci, termasuk yang masih dalam proses pengusulan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Terkait dengan Aceh, Mohammad Iqbal Bharata menyampaikan bahwa rancangan Qanun RTRW Aceh telah selesai disusun dan sedang dalam proses penetapan. Meskipun demikian, proses pembahasan memerlukan waktu lama karena kompleksitas muatan rancangan qanun, perubahan pola ruang akibat kebijakan baru, serta dinamika pembangunan daerah. Salah satu kebingungan yang muncul adalah apakah kawasan hutan adat akan masuk sebagai pemanfaatan lahan atau penggunaan lahan dalam pola ruang RTRW. Untuk mengatasi kebuntuan tersebut, Dinas PUPR Aceh memasukkan indikasi arahan zonasi bagi kawasan hutan adat.
Dalam lingkup Kabupaten Pidie, Firman Maulana menyampaikan bahwa tiga mukim, yaitu Mukim Kunyet, Mukim Paloh, dan Mukim Beungga, telah mendapatkan SK penetapan hutan adat dari Menteri LHK. Ini perlu dimasukan dalam RTRW Provinsi. Kabupaten ini juga memiliki potensi perhutanan sosial seluas sekitar 20.904 hektar, meskipun menghadapi tantangan seperti keterbatasan pengelolaan lahan, tekanan pembangunan infrastruktur, konflik manusia dan satwa liar, serta okupasi pihak eksternal dalam hutan adat.
Perlu Dukungan dan Komitmen Kabupaten dalam Pengakuan MHA melalui Produk Hukum Kabupaten
Teuku Muttaqin Mansur menegaskan bahwa mukim merupakan subjek hukum masyarakat hukum adat di Aceh yang memiliki fungsi adat dan pemerintahan. Pengakuan mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum adat telah diatur dalam berbagai peraturan, termasuk UU Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh No. 9 dan 10 Tahun 2008, serta Qanun Pemerintahan Mukim dan Gampong.
Nyak Yasir dari Ditjen PMD Kemendagri menyoroti tahapan pengakuan dan perlindungan MHA dalam UU Desa serta perlunya pembentukan Panitia MHA di tingkat kabupaten/kota di Aceh. Selain itu, Arief Fibriyanto menyampaikan bahwa dalam Perpres 28/2023 terdapat sejumlah target kolaboratif, termasuk sosialisasi dan koordinasi lokasi prioritas perhutanan sosial, asistensi dalam pengakuan dan perlindungan MHA, serta fasilitasi lintas urusan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.
Dari perspektif JKMA, Zulfikar Arma menguraikan bahwa JKMA telah mendampingi masyarakat mukim di Aceh sejak tahun 2005 dalam upaya advokasi wilayah adat dan hutan adat. Mukim berperan sebagai lembaga pemerintahan, lembaga adat, dan kesatuan masyarakat hukum adat. Hak-hak MHA di Aceh mencakup penguasaan kawasan komunal, penetapan aturan pengelolaan, penyelesaian hukum adat, serta keterlibatan dalam pengelolaan sumber daya alam dan peradilan adat. Proses panjang penetapan hutan adat mukim telah berlangsung sejak 2005, mulai dari pendampingan, penyusunan kebijakan, hingga pengusulan hutan adat ke pemerintah pusat.
* Kesimpulan: Terciptanya Komitmen Bersama untuk Mendorong Pengakuan dan Perlindungan MHA
- Perkumpulan HuMa Indonesia mengucapkan terima kasih atas kolaborasinya dari Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, dan terpenting Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengakuan mukim, wilayah adat mukim, dan hutan adatnya.
- Terbangun komitmen bersama oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung pengakuan wilayah mukim dalam produk hukum daerah, dan masuk dalam dokumen perencanaan daerah untuk 2026.
- Kepala Biro Hukum Sekda Provinsi Aceh berkomitmen memasukan penormaan pengakuan maasyarakat hukum adat dalam batang tubuh dan narasi lampiran di RPJP Provinsi Aceh yang sedang disusun.
- Kepala Biro Hukum Sekda Provinsi Aceh mewakili Asisten I Sekda Provinsi Aceh, berkomitmen mengawal pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat di kabupaten yang belum ada pengakuan.
- Kabid Tata Ruang dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Dinas PUPR Provinsi Aceh berkomitmen
- Memasukan kawasan hutan adat dalam RTRW Provinsi Aceh
- Memasukan peta hutan adat sesuai SK Hutan Adat yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
- Memasukan hutan adat dalam arahan zonasi RTRW Provinsi
- Subdit Pertanahan dan Penataan Ruang Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri berkomitmen:
- Mengawal RTRW Provinsi Aceh, setelah masuk Propem Perda
- Memfasilitasi komunikasi antara Provinsi Aceh dengan kementerian-kementerian di pusat dalam rangka penyusunan RTRW Aceh
- Subdit Kehutanan Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri berkomitmen:
- Memfasilitasi komunikasi antara Provinsi Aceh dengan kementerian-kementerian di pusat dalam rangka hutan adat dan perhutanan sosial
- Sesuai Perpres 28/2023, melakukan fasilitasi, asistensi, dan evaluasi evaluasi dalam rangka identifikasi, validiasi, dan verifikasi mekanisme pengakuan dan perlindungan MHA melalui produk hukum daerah
NGO tentu berkomitmen menjadi mitra pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, melakukan pendampingan masyarakat, menjadi mitra dialog pemerintah, dan saling mendukung secara teknis bersama-sama dengan yang ada di daerah dan pusat dalam pengakuan MHA.
0 Komentar
Tinggalkan Balasan