RUU Masyarakat Adat (MA) telah diusung, diusulkan oleh seluruh Masyarakat Adat di Indonesia sejak tahun 2003 dalam Kongres AMAN. Keberadaan RUU Masyarakat Adat penting sebagai perlindungan kedaulatan Masyarakat Adat dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 dirumuskan Naskah Akademik Draf RUU MA untuk diusulkan kepada DPR RI. Dan pada tahun 2020 setelah pembahasan panjang di DPR RI maka istilah Masyarakat Adat (MA) diubah menjadi Masyarakat Hukum Adat (MHA). Sehingga sekarang ini, RUU MA itu menjadi RUU MHA.
Dari mulai pengusulan RUU Masyarakat Adat kepada Pemerintah Pusat (Eksekutif dan Legislatif) hingga saat ini selalu mendapat hambatan. Hambatan utamanya adalah terjadinya tarik ulur kepentingan politik terhadap RUU Masyarakat Adat baik di eksekutif maupun di legislatif. Selain itu belum klearnya terhadap konsep dan istilah Masyarakat Adat. Selain itu, belum ada tikad baik (goodwill) dari Pemerintah dan DPR RI terhadap keberadaan Masyarakat Adat. Dampaknya, RUU Masyarakat Adat belum menjadi program legislasi nasional oleh di DPR RI. Ini terjadi hingga saat ini, dimana proses legislasi RUU Masyarakat Adat masih di dalam program legislasi nasional DPR RI. Kemadekan inilah yang menyebabkan RUU Masyarakat Adat belum disahkan oleh DPR RI.
Secara legalitas: Mahkamah Konstitusi, Peraturan perundang-undangan telah banyak mengakui, melindungi dan menghormati keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat. Misalkan (a) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-I/2003 yang merupakan putusan pertama MK yang menjelaskan mengenai hak konstitusional Masyarakat Adat, (b) Putusan MK Nomor 31/PUU-V/2007 menjelaskan mengenai tiga karakteristik Masyarakat Adat yang kemudian termuat dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menjadi tolak ukur mengenai legal standing Masyarakat Adat mengajukan pengujian undang-undang; (c) Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengakui keberadaan hutan adat yang harus dipisahkan dari hutan negara; serta Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 mengenai pengujian UU No. 18 Tahun 2013 yang mengecualikan pemberlakuan tindak pidana kehutanan bagi masyarakat yang sudah tinggal dan menggantungkan kehidupannya dari sumber daya hutan.
Seluruh Putusan MK tersebut adalah substansi penting yang perlu dijadikan rujukan dalam melakukan pemetaan dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait Masyarakat Adat, sebab putusan-putusan MK tersebut merupakan suatu penjelasan terhadap makna-makna yang terdapat di dalam ketentuan UUD 1945.
Penyamaan pemahaman, persepsi terkait keberadaan, hak-hak, dan kontribusi Masyarakat Adat sebagai bagian tidak terpisahkan dari keutuhan bangsa perlu dilakukan mengingat posisi strategis Masyarakat Adat sebagai pondasi keberadaan NKRI. Dengan memperkuat dan menjadikannya sebagai penopang NKRI, keberadaan masyarakat adat dipastikan akan menjadi modal kultural untuk menjaga NKRI di masa depan.
Roh RUU Masyarakat Adat adalah UU payung yang dapat membuat sinkronisasi peraturan yang menyebar dalam berbagai undang-undang dan peraturan operasional di masing-masing Kementerian/Lembaga terkait dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. UU MA memberikan otonom sepenuhnya kepada MA dalam mengurus dirinya sendiri, termasuk pemenuhan terhadap sumber hidup mereka.
Materi Para Narasumber :
Sandra Moniaga – Inkuiri Nasional dan RUU MHA
Jaleswari Pramodhawardani – Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia
Yance Arizona – Nasib RUU Masyarakat Adat
Arimbi Heroepoetri – Catatan Kritis atas advokasi RUU Masyarakat Adat
0 Komentar
Tinggalkan Balasan