#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Sekolah Lapang: Evaluasi dan Refleksi

Sleman, 11–17 Februari 2018 – Sekolah pengorganisasian masyarakat dan advokasi kebijakan hutan adat serta perhutanan sosial adalah metode pendampingan yang merupakan penggabungan Involvement (INSIST) dan SPHR (HuMa). Tujuan sekolah adalah untuk menjawab tantangan pasca penetapan, dan peluang pemberian izin serta pengembalian lahan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dalam skema perhutanan sosial dan hutan adat. Peserta yang mengikuti kegiatan sekolah ini merupakan orang-orang terpilih dari perwakilan masyarakat dampingan lembaga koalisi hutan adat, dan orang yang bekerja dalam lembaga-lembaga tersebut, yang telah diberikan mandat oleh Kepala Adat/Kepala Desa serta Pimpinan Lembaga yang bersangkutan, sebagai bagian dari persyaratan wajib sebelum mengikuti sekolah ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan tanggung jawab serta meneguhkan komitmen peserta, karena peserta dianggap sebagai pengemban amanat masyarakat.

Kegiatan sekolah telah dimulai pada tahun 2017, diawali dengan program pembelajaran dalam kelas (in-class) selama 1 (satu) bulan sejak tanggal 15 September – 15 Oktober 2017. Pelaksanaan in-class diisi oleh narasumber dan fasilitator yang berasal dari anggota dan badan pelaksana HuMa serta INSIST, dengan materi-materi seperti: membangun sikap dan etos kerja gerakan aktivis sosial, analisis sosial, pemetaan sosial dan pemetaan spasial, pendalaman terhadap pengorganisasian masyarakat, serta menyusun rencana tindak lanjut (RTL) sebagai bentuk kerja lapangan yang akan dilakukan oleh peserta.

 

Keterangan gambar: Samuel Bonatua (LBH Semarang) sedang memaparkan analisis hasil kegiatan lapangan yang dilakukannya selama 3 bulan di Desa Surokonto Wetan

 

Pasca pelaksanaan in-class, para peserta ditugaskan untuk terjun ke lapangan dan mendampingi masyarakat di 17 (tujuh belas) lokasi, yang tersebar dari Aceh hingga Sulawesi (disebut dengan program out-class). Program out-class memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu dan pembelajaran yang sudah didapatkan selama proses in-class, sekaligus melakukan pengawalan dan advokasi terhadap pengajuan hutan adat maupun perhutanan sosial, sebagaimana dituliskan di dalam RTL masing-masing peserta. Kedua proses in-class dan out-class merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sehingga dalam hal ini membutuhkan suatu proses akhir, yang dapat melihat dan menilai keseluruhan proses yang telah dilakukan oleh peserta sekolah.

Selama satu minggu di Kampus Perdikan Yogyakarta, para peserta didampingi oleh 4 orang fasilitator, yaitu Tan Jo Hann, Roem Topatimasang, Tandiono Bawor Purbaya, dan Noer Fauzi Rachman, secara bersama-sama melihat dan memberikan masukan atas kerja-kerja lapangan yang dilakukan oleh para peserta. Salah satu hal yang sangat diminati oleh peserta adalah melakukan perumpamaan pengorganisasian yang tertuang dalam bentuk permainan. Tan Jo Hann merupakan fasilitator yang memilih metode tersebut, karena permainan (games) merupakan salah satu cara menghilangkan kepenatan dan merangsang cara pikir dengan perspektif yang berbeda.

 

Keterangan gambar: Para peserta sedang bersorak pasca memenangkan permainan yang diusulkan oleh Fasilitator Tan Jo Hann

 

“Sekolah ini dianggap sebagai salah satu media atau alat yang akan bermanfaat bagi masyarakat, karena mayoritas peserta-peserta merupakan generasi-generasi muda yang memiliki visi bagus dengan komitmen kuat, untuk terjun ke lapangan dan bersarang pada komunitas-komunitas yang ada di Indonesia. Selain itu, peserta diharapkan juga mampu memberikan edukasi dan urgensi dari kebijakan hutan adat dan perhutanan sosial”, ujar Noer Fauzi Rachman. Roem Topatimasang menambahkan, “Di masa depan kita akan melihat para peserta ini menjadi calon orang-orang yang bisa memanfaatkan keadaaan apapun dan membentuk gerakan pemberdayaan masyarakat.”

Acara diakhiri dengan unjuk budaya di Pantai Parangtritis. Peserta menampilkan seni ataupun pertunjukan budaya dengan menggunakan pakaian adat dari masing-masing daerah. Acara unjuk budaya di Pantai Parangtritis merupakan event penutup dari rangkaian acara Sekolah Lapang. Tidak lupa, pesan yang selalu digaungkan oleh Kepala Sekolah INVOLVEMENT X, yaitu Dony Hendro Cahyono, “Kalian adalah aset bangsa yang dapat berdikari di tanah airnya sendiri, dan tentunya seluruh perjuangan jangan pernah melupakan sejarah yang pernah terjadi, karena sejarah merupakan pembelajaran terbaik menuju perubahan yang lebih baik.”

INVOLVEMENT, BERGERAK !!!!

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.