#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Riset Tenurial Lokal Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan

Oleh: Erwin Dwi Kristianto

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyelenggarakan sebuah riset dengan tema, “Tipologi Tenurial Lokal atas Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara”. Secara umum, riset ini hendak mengetahui berbagai sistem tenurial lokal atas sumberdaya hutan yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Termasuk di dalam tipologi tersebut adalah sistem tenurial lokal yang menunjukan interaksi antara Orang Dayak dan Non-Dayak, serta interaksi antara sistem tenurial lokal dengan sistem tenurial formal (baca: negara).

Salah satu lokasi –dari tiga lokasi- riset adalah di wilayah Orang Lundayeh di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan). Lokasi ini mewakili tipologi lokasi yang dominan komunitas Dayak dengan kegiatan pemanfaatan hutan. Riset lapangan di kecamatan Krayan sudah dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2014 – 8 Februari 2014.
***
Dataran tinggi Kalimantan terletak jauh di kedalaman, di “jantung” pulau Borneo. Dataran tinggi itu berada di antara dua Negara yaitu Indonesia (Kalimantan Timur) dan Malaysia (Serawak dan Sabah). Secara administratif masuk di dalamnya adalah Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan (Kalimantan Timur); Bario, Ba’Kelalan dan Lon Semadoh (Serawak), Serta Ulu Padas (Sabah) Walau terbagi menjadi dua Negara, masyarakat di dataran tinggi tersebut masuk ke dalam satu rumpun.

Masuk di dalamnya adalah Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Kecamatan Krayan, adalah salah satu kecamatan yang berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Terletak antara 115 ° BT – 116 ° BT dan 3 ° LU – 4 ° LU, wilayahnya seluas 3.114,20 km2. (Sumber: biro Pemerintah Kecamatan Krayan) Long Bawan adalah ibukota Kecamatan Krayan.

Wilayah Kecamatan Krayan memiliki bentang alam berupa dataran tinggi, rawa, perbukitan dan pegunungan dengan rata-rata ketinggian 1.500 mdpl dengan suhu rata-rata 22,9° C. Sementara curah hujan adalah 278,5 mm/tahun. (Sumber: biro Pemerintah Kecamatan Krayan)
Sebagian besar wilayah Kecamatan Krayan merupakan persawahan dan kawasan hutan. Sebagian wilayah Kecamatan Krayan berada di Taman Nasional (TN) Kayan Mentarang. Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM).

Satu-satunya akses ke Kecamatan Krayan dari kota-kota di Indonesia adalah menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani penerbangan dari Kota Malianau, Kota Nunukan dan Kota Tarakan ke Long Bawan, yaitu MAF dan Susi Air. Jika menggunakan transportasi udara, waktu tempuh dari Kota Malinau ke Long Bawan adalah 45 menit.

Sementara, jika melalui Malaysia, Long Bawan bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi darat. Ada tiga pintu masuk di perbatasan Malaysia dan Indonesia, yaitu: Long Midang, Long Layu dan Lembudud. Selain itu masih ada jalan-jalan “tikus” menuju ke Malaysia.
Aksesbilitas wilayah tersebut menyebabkan Kecamatan Krayan sulit terjangkau dari Indonesia. Di sisi lain, terjadi interaksi sosial dan ekonomi yang tinggi di lintas perbatasan. Umumnya masyarakat Kecamatan Krayan masih memiliki keluarga di Malaysia. Selain itu, kebutuhan pokok mereka juga sangat tergantung pasokan dari Malaysia.

Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Krayan adalah 3.945 KK, atau total 15.228 jiwa. Jumlah Laki-Laki adalah 7.949 jiwa adalah laki-laki, sementara 7.279 jiwa adalah perempuan.(sumber: Biro Pemerintah Kecamatan Krayan) Mayoritas dari mereka bekerja sebagai petani
Sebagai petani, mereka menanam padi di sawah. Ada jenis padi terkenal dari Krayan, yaitu padi Adan. Bulirnya kecil, harum dan pulen jika dimasak. Rata-rata 2 Ha sawah menghasilkan 300-400 kaleng (satu kaleng setara dengan 15 kg). Saat ini, luas tanaman padi di Kecamatan adalah 27.076 Ha, dengan hasil panen mencapai Rp 203.070.000.000,00. (Sumber: Biro Pemerintah Kecamatan Krayan).
Suku yang dominan di Kecamatan Krayan adalah suku Lundayeh. Nama Lundayeh berasal dari bahasa lokal, yaitu dari kata lemulun/lun yang berarti orang dan dayeh yang berarti hulu sungai. Secara umum, Lundayeh berarti orang yang berdiam di daerah hulu sungai.

Lundayeh terbagi dalam 3 (tiga) sub suku, yaitu: pertama, Lun tana’lun, Lun tana’lun berasal dari kata lemulun/lun yang berarti orang, tana’ yang berarti tanah dan lun/ilun yang berarti atas; Kedua, Lun nan ba’ Lu nan ba’ berasal dari kata lemulun/lun yang berarti orang, nan/inan yang berarti tempat/daerah dan ba’ yang berarti basah/sawah; Ketiga Lengilu’. Lengilu berasal dari lun’ yang berarti orang dan ilu’ yang berarti kayu damar. Konon dahulu ada orang yang akan menancapkan batang kayu untuk tiang rumah, ketika sedang menggali menemukan batang pohon damar. Tiang rumah itu kemudian ditancapkan di atas batang pohon damar tersebut.

Ketiga sub suku memiliki varian dialek yang berbeda. Hal tersebut sekaligus menjadi indikasi daerah persebaran sub suku tersebut. Masing-masing sub suku secara umum tinggal dalam lokasi yang berdekatan. Mereka membentuk pemukiman yang disebut bawang (Desa atau Kampung), yang sangat terkait dengan sistem cocok tanam yang mereka lakukan secara turun temurun.

Lun tana’lun secara turun temurun tinggal di wilayah yang berbukit atau di gunung. Mereka membat ladan di bukit-bukit. Lun nan ba’ secara turun temurun tinggal di dataran luas yang basah. Mereka memiliki sistem pertanian bersawah. Sementara Lengilu’ secara turun temurun tersebar di daerah sunga krayan/pa’krayan. Mereka membuat ladang di bukit-bukit. Sebagian dari mereka bersawah, namun dalam petak yang kecil jika dibandingkan dengan Lun nan ba’.

Mengenai asal usul nenek moyang Lundayeh, ada pebedaan cerita. Ada yang menyebutkan, konon, nenek moyang Lundayeh berasal dari seputuk. Pada suatu masa, kekeladeh menyerang nenek moyang Lundayeh. Banyak yang mati, hingga hanya menyisakan beberapa tetek ruma/pintu saja yang bepenghuni. Lalu pada suatu hari, salah satu dari mereka tertimpa buah pohon ulin dan mati seketika. Sebagian dari mereka memutuskan meninggalkan daerah tersebut. Mereka menyusuri hingga ke hulu-hulu sungai, sampai ke daerah yang sekarang disebut Krayan.

Versi lain mengatakan nenek moyang Lundayeh berasal dari daratan Yunan, Cina Selatan. Mereka menyebutkan kemiripan wajah, manik, tempayan yang mirip dengan masyarakat Yunan. Konon, perang cina kuno menyebabkan pasukan cina terpencar. Sebagian kemudian bermukim di menjalung, panagar, seputuk dan kuala kabiran. Lalu sebagian lagi berpindah-pindah hingga sampai ke daerah Krayan.

Terkait dengan aturan tenurial lokal, ada peristiwa-peristiwa penting yang sangat berpengaruh terhadap aturan lokal masyarakat adat lundayeh. Periode-periode itu adalah: (1). Periode sebelum masuknya agama Kristen; (2). Periode setelah masuknya agama Kristen; dan 3 Periode “pemilihan” kepala adat. Masing-masing periode tersebut membawa pengaruh terhadap aturan tenurial lokalnya.

***

Riset ini menemukan perilaku dalam penguasaan (baca: tenurial) atas sumberdaya hutan oleh penduduk lokal, masih dominan dikendalikan oleh aturan lokal (aturan adat, aturan informal. Namun, pada saat yang sama riset ini juga berpandangan bahwa sistem keteraturan dalam penguasaan sumberdaya hutan dipengaruhi oleh lebih dari satu sistem norma. Aturan lokal bukanlah satu-satunya yang menentukan karena pada saat yang sama, dalam kadar tertentu, aturan formal juga berperan. Berbaga sistem aturan tersebut melangsungkan relasi dinamik yang dapat berakhir dengan konflik ataupun akomodasi [.]

(Diolah dari BTOR dan draft penelitian di Long Bawan, Ninukan, Kalimantan Utara).

Riset Tenurial Lokal Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan
Oleh: Erwin Dwi Kristianto

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyelenggarakan sebuah riset dengan tema, “Tipologi Tenurial Lokal atas Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara”. Secara umum, riset ini hendak mengetahui berbagai sistem tenurial lokal atas sumberdaya hutan yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Termasuk di dalam tipologi tersebut adalah sistem tenurial lokal yang menunjukan interaksi antara Orang Dayak dan Non-Dayak, serta interaksi antara sistem tenurial lokal dengan sistem tenurial formal (baca: negara).
Salah satu lokasi –dari tiga lokasi- riset adalah di wilayah Orang Lundayeh di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan). Lokasi ini mewakili tipologi lokasi yang dominan komunitas Dayak dengan kegiatan pemanfaatan hutan. Riset lapangan di kecamatan Krayan sudah dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2014 – 8 Februari 2014.
***
Dataran tinggi Kalimantan terletak jauh di kedalaman, di “jantung” pulau Borneo. Dataran tinggi itu berada di antara dua Negara yaitu Indonesia (Kalimantan Timur) dan Malaysia (Serawak dan Sabah). Secara administratif masuk di dalamnya adalah Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan (Kalimantan Timur); Bario, Ba’Kelalan dan Lon Semadoh (Serawak), Serta Ulu Padas (Sabah) Walau terbagi menjadi dua Negara, masyarakat di dataran tinggi tersebut masuk ke dalam satu rumpun.
Masuk di dalamnya adalah Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Kecamatan Krayan, adalah salah satu kecamatan yang berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Terletak antara 115 ° BT – 116 ° BT dan 3 ° LU – 4 ° LU, wilayahnya seluas 3.114,20 km2. (Sumber: biro Pemerintah Kecamatan Krayan) Long Bawan adalah ibukota Kecamatan Krayan.
Wilayah Kecamatan Krayan memiliki bentang alam berupa dataran tinggi, rawa, perbukitan dan pegunungan dengan rata-rata ketinggian 1.500 mdpl dengan suhu rata-rata 22,9° C. Sementara curah hujan adalah 278,5 mm/tahun. (Sumber: biro Pemerintah Kecamatan Krayan)
Sebagian besar wilayah Kecamatan Krayan merupakan persawahan dan kawasan hutan. Sebagian wilayah Kecamatan Krayan berada di Taman Nasional (TN) Kayan Mentarang. Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM).
Satu-satunya akses ke Kecamatan Krayan dari kota-kota di Indonesia adalah menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani penerbangan dari Kota Malianau, Kota Nunukan dan Kota Tarakan ke Long Bawan, yaitu MAF dan Susi Air. Jika menggunakan transportasi udara, waktu tempuh dari Kota Malinau ke Long Bawan adalah 45 menit.
Sementara, jika melalui Malaysia, Long Bawan bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi darat. Ada tiga pintu masuk di perbatasan Malaysia dan Indonesia, yaitu: Long Midang, Long Layu dan Lembudud. Selain itu masih ada jalan-jalan “tikus” menuju ke Malaysia.
Aksesbilitas wilayah tersebut menyebabkan Kecamatan Krayan sulit terjangkau dari Indonesia. Di sisi lain, terjadi interaksi sosial dan ekonomi yang tinggi di lintas perbatasan. Umumnya masyarakat Kecamatan Krayan masih memiliki keluarga di Malaysia. Selain itu, kebutuhan pokok mereka juga sangat tergantung pasokan dari Malaysia
Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Krayan adalah 3.945 KK, atau total 15.228 jiwa. Jumlah Laki-Laki adalah 7.949 jiwa adalah laki-laki, sementara 7.279 jiwa adalah perempuan.(sumber: Biro Pemerintah Kecamatan Krayan) Mayoritas dari mereka bekerja sebagai petani
Sebagai petani, mereka menanam padi di sawah. Ada jenis padi terkenal dari Krayan, yaitu padi Adan. Bulirnya kecil, harum dan pulen jika dimasak. Rata-rata 2 Ha sawah menghasilkan 300-400 kaleng (satu kaleng setara dengan 15 kg). Saat ini, luas tanaman padi di Kecamatan adalah 27.076 Ha, dengan hasil panen mencapai Rp 203.070.000.000,00. (Sumber: Biro Pemerintah Kecamatan Krayan).
Suku yang dominan di Kecamatan Krayan adalah suku Lundayeh. Nama Lundayeh berasal dari bahasa lokal, yaitu dari kata lemulun/lun yang berarti orang dan dayeh yang berarti hulu sungai. Secara umum, Lundayeh berarti orang yang berdiam di daerah hulu sungai.
Lundayeh terbagi dalam 3 (tiga) sub suku, yaitu: pertama, Lun tana’lun, Lun tana’lun berasal dari kata lemulun/lun yang berarti orang, tana’ yang berarti tanah dan lun/ilun yang berarti atas; Kedua, Lun nan ba’ Lu nan ba’ berasal dari kata lemulun/lun yang berarti orang, nan/inan yang berarti tempat/daerah dan ba’ yang berarti basah/sawah; Ketiga Lengilu’. Lengilu berasal dari lun’ yang berarti orang dan ilu’ yang berarti kayu damar. Konon dahulu ada orang yang akan menancapkan batang kayu untuk tiang rumah, ketika sedang menggali menemukan batang pohon damar. Tiang rumah itu kemudian ditancapkan di atas batang pohon damar tersebut.
Ketiga sub suku memiliki varian dialek yang berbeda. Hal tersebut sekaligus menjadi indikasi daerah persebaran sub suku tersebut. Masing-masing sub suku secara umum tinggal dalam lokasi yang berdekatan. Mereka membentuk pemukiman yang disebut bawang (Desa atau Kampung), yang sangat terkait dengan sistem cocok tanam yang mereka lakukan secara turun temurun.
Lun tana’lun secara turun temurun tinggal di wilayah yang berbukit atau di gunung. Mereka membat ladan di bukit-bukit. Lun nan ba’ secara turun temurun tinggal di dataran luas yang basah. Mereka memiliki sistem pertanian bersawah. Sementara Lengilu’ secara turun temurun tersebar di daerah sunga krayan/pa’krayan. Mereka membuat ladang di bukit-bukit. Sebagian dari mereka bersawah, namun dalam petak yang kecil jika dibandingkan dengan Lun nan ba’.
Mengenai asal usul nenek moyang Lundayeh, ada pebedaan cerita. Ada yang menyebutkan, konon, nenek moyang Lundayeh berasal dari seputuk. Pada suatu masa, kekeladeh menyerang nenek moyang Lundayeh. Banyak yang mati, hingga hanya menyisakan beberapa tetek ruma/pintu saja yang bepenghuni. Lalu pada suatu hari, salah satu dari mereka tertimpa buah pohon ulin dan mati seketika. Sebagian dari mereka memutuskan meninggalkan daerah tersebut. Mereka menyusuri hingga ke hulu-hulu sungai, sampai ke daerah yang sekarang disebut Krayan.
Versi lain mengatakan nenek moyang Lundayeh berasal dari daratan Yunan, Cina Selatan. Mereka menyebutkan kemiripan wajah, manik, tempayan yang mirip dengan masyarakat Yunan. Konon, perang cina kuno menyebabkan pasukan cina terpencar. Sebagian kemudian bermukim di menjalung, panagar, seputuk dan kuala kabiran. Lalu sebagian lagi berpindah-pindah hingga sampai ke daerah Krayan.
Terkait dengan aturan tenurial lokal, ada peristiwa-peristiwa penting yang sangat berpengaruh terhadap aturan lokal masyarakat adat lundayeh. Periode-periode itu adalah: (1). Periode sebelum masuknya agama Kristen; (2). Periode setelah masuknya agama Kristen; dan 3 Periode “pemilihan” kepala adat. Masing-masing periode tersebut membawa pengaruh terhadap aturan tenurial lokalnya.

***

Riset ini menemukan perilaku dalam penguasaan (baca: tenurial) atas sumberdaya hutan oleh penduduk lokal, masih dominan dikendalikan oleh aturan lokal (aturan adat, aturan informal. Namun, pada saat yang sama riset ini juga berpandangan bahwa sistem keteraturan dalam penguasaan sumberdaya hutan dipengaruhi oleh lebih dari satu sistem norma. Aturan lokal bukanlah satu-satunya yang menentukan karena pada saat yang sama, dalam kadar tertentu, aturan formal juga berperan. Berbaga sistem aturan tersebut melangsungkan relasi dinamik yang dapat berakhir dengan konflik ataupun akomodasi [.]
(Diolah dari BTOR dan draft penelitian di Long Bawan, Ninukan, Kalimantan Utara).

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.