#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Salah Kaprah Hutan Adat

-Memasukkan hutan adat ke skema perhutanan sosial melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Peraturan pemerintah tentang hutan adat perlu dibuat.-

SELASA, 16 Mei lalu, tepat 10 tahun Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan itu diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Dalam putusan nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 itu, MK menyatakan Undang-Undang Kehutanan yang memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon meminta pengujian Pasal 1 ayat 6; Pasal 4 ayat 3; Pasal 5 ayat 1, 2, 3, dan 4; serta Pasal 67 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Kehutanan. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan tersebut, yakni untuk Pasal 1 ayat 6; Pasal 4 ayat 3; serta Pasal 5 ayat 1, 2, dan 3. MK menolak permohonan  untuk Pasal 5 ayat 4 dan Pasal 67 yang di antaranya menyatakan pengukuhan keberadaan masyarakat adat ditetapkan dengan peraturan daerah.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Supriyanto, mengatakan langkah yang ditempuh institusinya setelah adanya purusan MK nomor 35/2012 itu adalah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak. “Kemudian terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan untuk bisa melakukan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat,” kata Bambang melalui jawaban tertulis, Ahad, 21 Mei lalu.

Menurut Bambang, regulasi yang mengatur hutan  adat tercantum dalam  Peraturan Pemerintah tentang  Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah tentang Perhutanan Sosial. Menurut dia, berbagai terobosan telah dilakukan Kementerian untuk mempercepat  penetapan hutan adat. “Salah satunya melalui penyederhanaan produk hukum daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat menjadi cukup satu peraturan  daerah untuk satu kabupaten/kota yang kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan kepala daerah,” tuturnya.

Ihwal permohonan penetapan status hutan adat yang belum dilengkapi keputusan pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan peta wilayah adatnya oleh pemerintah daerah, menurut Bambang, Kementerian dapat memfasilitasi  identifikasi dan pemetaan wilayah adat melalui pembentukan  tim terpadu yang melibatkan pemerintah  daerah dan instansi terkait. “Jadi tetap dilakukan verifikasi lapangan  dan hasilnya ditetapkan menjadi wilayah indikatif hutan adat dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujarnya.

Selain membuat regulasi, Bambang mengatakan, kementerian telah bersinergi dengan instansi lain. Perihal pembentukan peraturan daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, Bambang menyebutkan pihaknya rutin berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri yang berwenang mengawasi penerbitan peraturan daerah. “Untuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan  Nasional, kita terus berkoordinasi soal pendaftaran tanah ulayat dan sertifikat komumal yang ada dalam kebijakan Kementerian ATR/BPN,” ucapnya.

Menurut  Bambang, sejak penyerahan surat keputusan pengakuan hutan adat pertama oleh Presiden Joko  Widodo pada 30 Desember 2016, telah terbit sebanyak 108 surat keputusan pengakuan hutan adat. Ia menyebutkan luasnya telah mencapai sekitar 153.322 hektare. “Surat keputusan itu meliputi 52.167 keluarga di 17 provinsi dan 36 kabupaten/kota,” katanya. “Untuk indikatif hutan adat ada 17 provinsi dan 30 kabupaten/kota dengan luas keseluruhan 952.862 hektare.”

Saat ini, Bambang menambahkan, run terpadu penetapan hutan adat KLHK sedang memverifikasi  hutan  adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. “Akan  terus berlanjut untuk  melakukan  percepatan terhadap wilayah-wilayah yang sudah siap produk hukumnya, seperti  Kabupaten Pidie di Aceh,  Mentawai di Sumatera  Barat, dan Kabupaten  Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Untuk wilayah Timur ada Kabupaten Sorong, Tambrauw, dan Maybrat.”

Pengajar pada Departemen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, mengatakan kebijakan pemerintah memasukkan hutan adat ke skema perhutanan sosial telah melanggar  putusan  MK nomor  35/2012. Menurut dia, dalam  skema perhutanan sosial, statusnya  adalah  hutan negara yang melibatkan masyarakat dalam  pengelolaannya. “Sedangkan hutan adat itu, MK sudah sangat jelas dalam putusan nomor 35/2012 melepaskan hutan adat dari hutan negara,” kata Yance melalui sambungan telepon Kamis, 25 Mei lalu.

Yance, yang meraih gelar Ph.D bidang hukum  dan masyarakat  Universiteit  Leiden, Belanda,  pada 2022, mengatakan, sejak terbit  putusan MK nomor 35/2012, pemerintah tidak pernah menjalankan mandat  Undang-Undang Kehutanan  membuat peraturan pemerintah mengenai  pengelolaan  hutan  adat.  KLHK, dia melanjutkan, malah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2015 dengan memasukkan hutan adat ke kategori hutan hak. “Seharusnya bukan membuat peraturan baru, tapi mengubah peraturan yang lama tentang hutan hak,” tutur Yance.

Menurut dia, jika serius melindungi hutan adat, pemerintah harus menyusun suatu regulasi dengan  metode omnibus. Yance mengatakan aturan khusus itu mengoreksi pengaturan masyarakat adat yang tersebar di beberapa regulasi sektoral. “Yang saya bayangkan itu seperti model kodifikasi Undang-Undang Pemilu, bukan omnibus law model Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya. “Diajadi satu undang-undang tersendiri untuk jadi rujukan semua sektor.”

Dalam perumusannya, Yance melanjutkan, tawaran regulasi baru itu tidak mengubah undang-undang sektoral seperti metode yang diterapkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Yance, regulasi baru yang lebih melindungi masyarakat adat itu harus menarik pasal-pasal terkait yang tersebar di Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “ltu jadi rujukan semua sektor untuk menjamin hak masyarakat adat,” ucapnya.

Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia, Agung Wibowo, mengatakan pemerintah tidak pernah serius menjalankan putusan MK nomor 35/2012 sebagai sebuah semangat melindungi hak masyarakat adat. Sejak hutan adat dipisahkan dari status hutan negara, menurut Agung, pemerintah  malah menyamakan hutan adat dengan entitas bisnis yang juga masuk kategori hutan hak. Menurut  Agung, permasalahan makin bertambah ketika terbit  Undang-Undang Cipta Kerja.

Agung menyebutkan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun  2021 tentang  Pengelolaan  Perhutanan  Sosial sebagai  konsekuensi lahirnya  Undang-Undang  Cipta Kerja telah menghapus mandat resolusi konflik dalam penetapan hutan adat yang melibatkan pihak negara.  “Penyelesaian konflik tidak lagi masuk regulasi penetapan hutan adat sehingga pemerintah menghindari  penetapan bagi wilayah adat yang masih ada tumpang-tindih izin,” kata Agung melalui sambungan  telepon, Rabu 24 Mei lalu.

Menurut dia, tanpa adanya konflik lahan pun masyarakat telah kesulitan mendapatkan  hak pengelolaan  hutan  adat.  Agung menyebutkan penetapan  hutan adat dengan  lampiran  dokumen  seperti  pembuatan   peraturan daerah serta adanya peta wilayah dan institusi berupa paguyuban  bakal memberatkan bagi masyarakat adat. “Bahkan harus  berhadapan dengan skema verifikasi teknis, yakni ada orang KLHK datang ke lapangan bertanya kepada  masyarakat adat seperti  masih memungut hasil hutan. Biasanya  itu jadinya seperti  intimidasi,” tuturnya.

Agung mengatakan pihaknya pernah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional percepatan  penetapan  hutan adat dengan melibatkan berbagai  pihak,  seperti pemerintah daerah, KLHK, lembaga  swadaya  masyarakat, dan masyarakat adat pada 24 Januari 2018. Berbagai pihak yang hadir,  dia melanjutkan, telah menandatangani berita acara tentang pembahasan dan telaah teknis  peta-peta potensi  hutan  adat. Dalam kesepakatan tersebut   terdapat data luas potensi  hutan  adat per wilayah, yakni Sumatera  449.709  hektare, Jawa-Bali-Nusa Tenggara 117.944 hektare, Kalimantan 3.633.246 hektare, Sulawesi 859.533  hektare, dan Maluku-Papua 1.145.383 hektare.

“Total target potensi hutan adat dalam kesepakatan rapat koordinasi hutan adat tersebut adalah seluas 6.205.815 hektare,” kata Agung. Menurut Agung, disepakati pula dalam rapat koordinasi itu perlunya  tindak lanjut untuk menyegerakan percepatan  penetapan hutan adat. “Tapi itu tidak  pernah dilakukan, malah pemerintah menjadikan hutan adat masuk skema perhutanan sosial  yang rawan ditumpangi ketika ada proyek strategis nasional,” ucapnya.

 

“Publikasi ini sudah terbit melalui tempo.co dengan link:

 https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/168932/pengakuan-hutan-adat”

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.