#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

HUTAN INDONESIA AKAN DIBAWA KEMANA?

KONDISI KEHUTANAN SAAT INI

  1. Hutan masih selalu dilihat sebagai komoditas, bukan sebagai ekosistem esensial bagi kehidupan manusia. Komoditas ini pada awalnya berupa kayu, namun sekarang bertambah dengan lahan dan
  2. Selama 26 tahun berjalan, pelaksanaan urusan kehutanan menyebabkan ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan lahan hutan, yang mendorong terjadinya konflik
  3. Hutan tidak lagi menjadi pendorong kemajuan ekonomi, baik di tingkat negara maupun lokal. Pemiskinan terhadap masyarakat sekitar hutan malah makin kentara dengan kondisi hutan yang semakin terdegradasi. Saat ini, terdapat 19.410 desa yang berada di sekitar hutan,  dengan  jumlah penduduk sekitar 48,8 juta jiwa yang hidupnya bergantung pada hutan. Analisis yang dilakukan oleh Direktorat  Kawasan  Konservasi dan Direktorat Pemolaan dan  Informasi  Konservasi Alam menggunakan shape file dari Pemetaan Wilayah Administrasi Desa, Badan Informasi Geospasial, pada tahun 2021, menunjukkan bahwa terdapat 7.043 desa yang berada di sekitar kawasan konservasi (STATUS HUTAN & KEHUTANAN INDONESIA 2022: Menuju FOLU  Net  Sink  2030).  Dalam  dokumen  lainnya (Analisis Rumah Tangga Sekitar Kawasan Hutan di  Indonesia  2014)  disebutkan  penduduk  yang tinggal di sekitar kawasan hutan  berdasarkan  hasil Survei Kehutanan 2014 berjumlah sekitar 32.447.851 jiwa dengan mayoritas dalam kondisi miskin. Jumlah desa di dalam hutan sekitar 2.037 desa, dan sekitar hutan sebesar 19.247
  4. Pengelolaan oleh negara dengan sistem yang sentralistik dimana semua urusan kehutanan ditarik ke tingkat pusat dengan hanya menempatkan aparatus yang tidak terkoneksi langsung dengan perlindungan hutan dan restorasi hutan. Hutan yang sedang terdegradasi malah dilepaskan, tidak direstorasi. Hal ini memicu deforestasi dan degradasi hutan.
  5. Secara ekosistem, kondisi kehutanan Indonesia juga tidak dalam keadaan optimal. Hal ini bisa dilihat dari luas lahan non-hutan yang berada di dalam kawasan hutan yang terus naik. Tantangannya tidak hanya berupa deforestasi, tetapi juga degradasi

 

TAWARAN 1:

REZIM KEHUTANAN BERTRANSISI DARI REZIM PENGURUSAN- PENGUASAAN MENJADI REZIM PENGELOLAAN

Dua alasan penting: pertama, banyak ekosistem hutan di luar “kawasan hutan” yang memiliki kekayaan hayati namun tidak jelas pengurusannya. Fakta ini tidak dibaca sebagai keharusan institusi yang ada sekarang melebarkan sayap kekuasaannya ke luar “kawasan  hutan”.  Institusi  yang ada sudah tidak mempunyai kapasitas untuk mengurus ekosistem hutan seperti tadi. Karena itu KPH menjadi institusi garda depan. Kedua, di dalam “kawasan hutan” terdapat lahan yang tidak berhutan dan  tidak  lagi  berfungsi sebagai hutan. Terhadap lahan seperti ini perlu ada inventarisasi dan pengelolaan ke depan. Dua hal yang bisa dikerjakan: memberikan kewenangan kepada KPH dan institusi lain untuk mengurusnya (termasuk merestorasi) dan kedua, institusi kehutanan saat ini bertugas melakukan restorasi.

Konsekuensi dari peralihan ini diantaranya penguatan KPH dan Pemda  dengan mengalihkan anggaran, personel dan kewenangan yang ada di institusi sekarang ke dalam dua kelembagaan tersebut. KPH  dan  Pemda tidak memiliki kewenangan melakukan pelepasan kawasan hutan. Tetapi pada sisi yang lain, konsekuensi yang lebih besar lagi adalah dengan cara bagaimana keseluruhan sektor kehutanan akan diurus, termasuk misalnya bagaimana hutan menjadi peruntukkan yang tidak hanya dikelola negara, tetapi subyek hukum lain yang diakui dalam hukum, termasuk individu dan masyarakat hukum adat. Hal ini didasarkan pada konsep pengelolaan harus dijalankan berdasarkan alas hak – bukan lagi cek kosong penguasaan oleh negara. Dengan itu juga, tidak ada pelepasan “kawasan hutan” kecuali untuk masyarakat adat dan kelompok masyarakat yang berada di dalam  dan  sekitar kawasan hutan, yang haknya secara tradisional langsung diakui.

 

TAWARAN PERBAIKAN 2:

MEMASUKKAN PROSES PENETAPAN HUTAN ADAT/HUTAN HAK KE DALAM PROSES PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

Kemajuan pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan sekarang perlu diapresiasi tetapi masih menyisakan persoalan karena konflik yang ada tidak diselesaikan dan malah menimbulkan potensi konflik. Hal ini karena ketiadaan kapasitas dari institusi yang ada dalam melakukan resolusi konflik.

Dalam penetapan hutan adat misalnya yang malah dikerjakan di luar kerangka pengukuhan kawasan hutan yang menyebabkan penetapan hutan adat dikerjakan di akhir dan terjadi pengulangan proses. Karena kacamatanya resolusi konflik, posisi masyarakat adat berada dalam kondisi lebih rendah dan harus melakukan permohonan. Karena permohonan, maka penentuan berada di tangan institusi kehutanan saat ini. Padahal jika prosesnya terintegrasi dengan pengukuhan kawasan hutan, hutan adat bersanding dengan hutan negara (tidak lagi hutan adat “berasal dari” hutan negara).

Konsekuensi 1: dengan mengikuti prosedur pendaftaran tanah, penetapan hutan adat dan hutan hak dilakukan terlebih dahulu. Pemerintah akan menguasai langsung dan tidak langsung sisanya. Lahan hutan yang di atasnya tidak ada hak atas tanah ditetapkan sebagai hutan negara (dikuasai langsung), sementara dari “kawasan hutan” yang tersisa yang masih ada klaim hak MHA/masyarakat dikuasai secara tidak langsung oleh negara. Baik pada lahan hutan yang dikuasai langsung atau tidak langsung oleh negara tersebut, pemerintah harus terlebih dahulu menentukan fungsi dari lahan tersebut. Hal yang kemudian bisa dinegosiasikan dengan MHA/masyarakat yang nantinya (dan juga yang sekarang) mengelola lahan di atasnya.

Konsekuensi 2: pengelolaan hutan tidak lagi dikerjakan oleh aktor tunggal seperti sekarang, melainkan dilakukan oleh berbagai pihak yang punya klaim tradisional dan hak atas tanah di atasnya. Bagi masyarakat yang tidak memiliki hak atas tanah di lahan hutan atau hak- nya sudah dialihkan kepada pihak lain, juga masih bisa terlibat dalam pengelolaan hutan. Karenanya perlu ada pengaturan lebih jelas soal pengelolaan hutan oleh masyarakat (“perhutanan  sosial”),  yang  setidaknya  terbagi  dalam  dua  kelompok  besar:  memiliki  hak adat atas lahan dan hak atas tanah dan yang tidak memiliki hak atas tanah atau hak tradisional adat. Yang tidak memiliki hak dan mau terlibat dalam pengelolaan hutan terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pengelola hutan negara dan kontrak kerja sama dengan pengelola hutan adat/hutan hak.

 

TAWARAN PERBAIKAN 3:

ORIENTASI DARI SEKTOR KEHUTANAN ADALAH PEMULIHAN LAHAN HUTAN

Tingginya degradasi hutan dan tidak bisa diselamatkannya kawasan- kawasan esensial hutan (seperti hutan primer tersisa di kawasan timur Indonesia (Maluku Utara, Pulau Papua) seharusnya menjadi alarm kuat perlunya reorientasi kebijakan kehutanan di Indonesia. Hutan tidak hanya berisi kayu, tetapi juga kekayaan biodiversitas, cadangan pangan, energi dan obat-obatan yang esensial, tidak hanya bagi kehidupan manusia, tetapi juga menunjang kehidupan bumi. Karena itu:

  1. Pengurangan pemberian izin yang sifatnya ekstraktif di dalam kawasan hutan.
  2. Pengelolaan hutan bertumpu pada semangat pemulihan dengan hanya mengambil  “bunga”  (karbon,  HHBK,  plasma  nutfah)  daripada pohon dan lahannya.
  3. Menghapus aturan pertambangan di dalam kawasan hutan (skema pinjam pakai atau tukar menukar kawasan hutan).

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.