Forest Watch Indonesia bersama HuMA dan JKPP melakukan kerjasama untuk memberikan dukungan kepada masyarakat melalui penyajian dan analisis tumpang tindih pemanfaatan hutan dan monitoring sistem tenure dalam demonstrasi REDD. Analisis tenure ini juga dijadikan sebagai monitoring proses implementasi model REDD yang lagi berkembang di Indonesia berkaitan dengan hak-hak masyarakat, terutama hak-hak atas tanah/lahan.
Penyajian dan analisis tumpang tindih pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan untuk memberikan informasi yang berimbang dengan berbagai inisiatif yang berkembang saat ini dalam mendukung proses-proses negosiasi pada tingkat masyarakat adat/lokal. Pengembangan analisis data dan tumpang tindih kawasan hutan sebagai awal model analisis untuk memahami konflik tenure di site-site yang menjadi areal demonstasi REDD. Hal penting dari sharing informasi kepada pengguna data adalah perlu paket informasi yang lebih mudah dipahami oleh kalangan umum dan pemangku kepentingan lainnya. Penyajian hasil analisis tumpang tindih yang lebih sederhana dan mudah dipahami sangat diperlukan dalam mendukung perjuangan masyarakat adat/lokal dalam bernegosiasi baik dengan pemerintah maupun pengusaha kehutanan serta inisiatif-inisiatif pemanfaatan hutan yang ada dilokasi masyarakat/lokal.
Kondisi Masyarakat di Sekitar Rencana Alokasi REDD
Pada penelitian ini, daerah yang dipilih sebagai contoh rencana demonstrasi REDD adalah areal yang sudah disosialisasikan dan di inisiasi Flora dan Fauna Indonesia (FFI) yang berada di propinsi Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Penelitian dilakukan dengan pengambilan titik-titik kampung dan menghimpun informasi sebanyak mungkin dari masyarakat terkait sistem pengelolaan dan inisiatif-inisiatif yang sedang dan berkembang di masyarakat. Secara singkat akan dipaparkan disini tentang kondisi masyarakat di 2 kabupaten tersebut.
Kabupaten Ketapang
Di Kabupaten Ketapang, yang menjadi wilayah areal alokasi REDD berada di sekitar 5 desa di 3 kecamatan, tetapi pengamatan lakukan hanya di 4 desa yaitu desa Tanjung Pura dan desa Tempurukan yang berada di wilayah administratif kecamatan Muara Pawan serta desa Sungai Puteri dan desa Tanjung Baik Budi yang secara administratif berada di kecamatan Matan Hilir Utara. Lokasinya dekat dengan ibu kota kabupaten ketapang dengan jarak tempuh 20 s/d 30 Km dari kota ketapang. Dari 4 desa yang dikunjungi, desa Tanjung pura agak terpencil yang berada di pinggiran sungai Pawan. Untuk mencapai desa Tanjungpura hanya bisa dicapai dengan speedboat/perahu,
sedangkan jalan darat tidak ada angkutan umum karena jalannya juga sangat rusak/belum beraspal (masih jalan tanah) dan kelihatannya baru diperlebar untuk jalan menuju perkebunan yang ada di daearah tersebut. Sedangkan 3 desa lainnya yaitu Tempurukan, Sungai Puteri, dan Tanjung Baik Budi berada di sepanjang pesisir pantai dan akses lebih mudah karena berada disepanjang jalan poros Ketapang – Sukadana.
Pada umumnya, kehidupan disana sudah lebih modern karena berada dijalur akses antar kota. Penduduk di dominasi oleh pendatang dan mayoritas melayu, sumber penghasilan penduduk dari pertanian dan sebagian kecil adalah nelayan. Masyarakat disana tidak mengenal kepemilikan komunal termasuk lahan, pada umumnya kepemilikan lahan sudah berstatus kepemilikan pribadi bahkan sudah ada yang bersertifikat. Sistem pengelolaan lahan menurut masyarakat, 3 km dari poros jalan kampung adalah yang dibagi masyarakat untuk lahan pertanian dan 3 – 5 km dari batas pertanian adalah areal pencadangan pertanian untuk masa depan, selebihnya adalah hutan
negara tetapi bisa sewaktu-waktu dikelola/dimanfaatkan masyarakat dengan persetujuan pemda setempat. Beda dengan desa Sungai Putri, mereka memiliki pencadangan sejauh 8 km.
Pada saat ini, untuk menggerakkan perekonomian, masyarakat mengandalkan pertanian terutama tanaman Karet dan kelapa. Menurut masyarakat, mereka dulu adalah pekerja kayu karena lebih menguntungkan, berhubung persediaan kayu sudah semakin habis akhirnya tidak punya pilihan untuk kembali mengembangkan pertanian dan sebagian kecil menjadi nelayan. Desa Tempurukan, Sungai Putri dan Tanjung Baik Budi sudah lebih maju dibandingkan dengan Desa Tanjung Pura walaupun menjadi salah satu desa tertua di wilayah tersebut. Tanjung Pura tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mencapai kampung tersebut, masyarakat masih mengandalkan speedboat/perahu selain kendaraan pribadi seperti: sepeda motor, dll.
Kabupaten Kapuas Hulu Wilayah alokasi rencana demonstrasi REDD di kabupaten Kapuas Hulu berada disekitar Danau Sentarum bagian Timur dan bagian Barat. Studi yang dilakukan di fokuskan di wilayah barat danau sentarum yang terdiri dari 4 desa yaitu, desa Bajauandai secara administratif berada di kecamatan Empanang dan desa Janting, Pulaumajang, serta desa Seriang secara administratif berada di kecamatan Badau. Akses untuk mencapai desa-desa tersebut bisa lewat jalan darat dan aliran sungai, jalan darat bisa ditempuh lewat Ibu kota kabupaten Kapuas Hulu (Putussibau) yang kemudian dilanjutkan dengan naik bis ke ibukota kecamatan Badau. Sedangkan jalur sungai bisa ditembuh dengan naik bis/travel Pontianak – Suhaid yang kemudian dilanjutkan dengan naik speedboat menelusuri sungai dan danau sentarum. Disana tidak ada angkutan umum yang beroperasi setiap hari, untuk mencapai lokasi kita harus minta bantuan masyarakat yang punya kendaraan pribadi. Sayangnya, kalau musim hujan akan sulit masuk ke desa-desa tersebut karena jalanan masih didominasi jalan berbatu dan jalan-jalan tanah, sebagian sudah beraspal.
Aliran listrik untuk penerangan masih mengandalkan pasokan listrik dari Malaysia, khususnya kecamatan Badau yang berbatasan dengan Malaysia tetapi masih ada juga yang belum dialiri tenaga listrik, seperti di desa Bajauandai di perkampungan Semayus, masyarakat masih mengandalkan Jenset dengan batasan pemakaian tertentu sesuai persediaan bahan bakar. Sumber pencaharian masyarakat pada umumnya adalah pertanian, terutama tengkawang dan karet tetapi ada juga yang menjadi nelayan seperti di desa Pulau Majang sebagian masyarakatnya adalah nelayan di sekitar danau Sentarum dan aliran sungai Kapuas. Desa Bajauandai, Seriang, dan Janting masyarakatnya mayoritas suku dayak terutama dayak Iban kecuali Pulau Majang yang penduduknya mayoritas melayu.
Menurut masyarakat adat Bajau Andai Tanah adalah Hidup Kita, ini merupakan prinsip hidup masyarakat yang menggambarkan hubungan tanah dengan kehidupan mereka. Sistem Pengusaan tanah terdiri dari kepemilikan pribadi dan kepemilikan bersama. Kepemilikan pribadi umumnya berupa areal perladangan, pemukiman dan perkebunan. Sedangkan tanah bersama merupakan wilayah hutan adat, tembawang dan tempat-tempat keramat lainnya.
Analisis Tumpang Tindih
Pengelolaan Sumberdaya Alam Studi tataguna hutan dan lahan pada Kabupaten Ketapang tentang penggunaan ruang dan permasalahan-permasalahan yang ada dilapangan. Studi ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang kondisi penggunaan kawasan dengan pengalokasian lokasi REDD yang ternyata sebagian berada pada kawasan yang sudah terbebani Hak seperti:konsesi Perkebunan, dan kosesi HPH.
Kondisi terkini yang terpantau dilapangan menunjukan bahwa terdapat tumpang tindih penggunaan kawasan yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum diberikannya perijinan baru dalam bentuk apapun. Selain hal tersebut, pengakuan terhadap kawasan masyarakat adat juga seharusnya dipertimbangkan sebelum dilakukannya deliniasi kawasan untuk kepentingan tataguna lahan.
Hasil analisis overlay dari ijin konsensi yang ada, baik yang aktif maupun yang sudah tidak aktif menunjukan bahwa pada kawasan yang akan di peruntukan sebagai areal REDD, ternyata overlap dengan konsesi-konsensi yang telah ada sebelumnya seperti konsesi sawit dan konsesi HPH. Dalam tabel dibawah ini, konsesi HPH tidak ditampilkan karena menurut masyarakat, sejak tahun 2000-an perusahaan HPH diareal mereka sudah tidak beroperasi lagi.
Selain tumpang tindih dengan kawasan perkebuan sawit, sebagian kawasan REDD juga tumpang tindih dengan kawasan adat desa Bajauandai, hasil pemetaan partisipatif awal dengan menggunakan GPS seluas : 2107,2 Hektare. Untuk kawasan masyarakat adat lain belum terpetakan dalam penelitian ini, dikarenakan keterbatasan waktu dan sumber daya. Desa Bajauandai adalah satu-satunya desa yang menolak kehadiran perkebunan sawit di daerah tersebut, desa-desa disebelahnya sudah menandatangani kontrak peminjaman lahan dengan pihak perusahaan.
Tanggapan Masyarakat tentang Rencana Alokasi Demonstrasi REDD
a. Kedatangan FFI ke desa Sungai Putri, Tanjung Baik Budi, dan Tempurukan ke daerah mereka dengan alasan untuk melakukan penelitian lahan gambut dan khususnya tentang orang hutan. FFI hanya melakukan sosialiasi tentang penelitian yang mereka lakukan dan mengusulkan sebagai hutan karbon, tetapi apa yang menjadi tujuan hutan karbon dan implikasinya kedepan terhadap masyarakat sekitar belum tersosialisasi dengan baik. Sampai saat ini, masyarakat masih bingung dengan apa sebenarnya yang dimaksud dengan yang katanya jual karbon dan iming-iming kompensasinya itu. Ada kekawatiran masyarakat, apabila akan menjadi hutan karbon mereka
takut tidak bisa lagi mengambil hasil dari hutan terutama kayu, karena masih dibutuhkan untuk bahan bakar memasak dan pembangunan rumah.
b. Lain pula dengan Desa Tanjung Pura, masyarakat sama sekali tidak tahu tentang hutan karbon, bahkan mereka tidak tahu bahwa daerah mereka masuk dalam rencana demonstrasi REDD. Bahkan, menurut aparat desa mereka tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan mengenai hutan karbon.. Nah…. loh….
c. Hal yang sama juga dijumpai di daerah Kapuas Hulu yang menjadi rencana areal demonstrasi REDD. Alasan kedatangan FFI adalah untuk melakukan penelitian orang hutan yang ada didaerah tersebut. Ditanya tentang karbon, mereka hanya dengar ada jual karbon, sementara sosialisasi tentang apa dan bagaimana yang namanya REDD belum pernah dilakukan. Apalagi di desa Pulaumajang, sosialisasi mengenai isu karbon atau hutan karbon tidak pernah di dengar oleh masyarakat. Padahal dari peta yang dipublish oleh FFI, kawasan desa Pulau Majang termasuk dalam blok I terutama daerah yang berbatasan dengan Bajauandai.
Simpulan hasil penelitian menunjukkan masyarakat belum siap dengan inisiatif REDD, masyarakat belum bisa membayangkan akan apa dan bagaimana nanti apabila inisiatif REDD ini jadi dilaksanakan terutama tentang hak-hak mereka terhadap hutan dan tanah yang mereka diami… Informasi sepihak pemerintah dengan tim yang menginisiasi REDD tanpa melibatkan masyarakat sudah menunjukkan erlakukan yang kurang menghargai keberadaan dan hak-hak masyarakat. Ekspansi perkebunan sawit, rencana tambang, HPH, HTI, dan inisiatif lainnya, semuanya berhubungan langsung dengan pemerintah – masyarakat biasanya baru tahu bahwa di daerah mereka ada inisiatif-inisiatif setelah keluar perijinan dari pemerintah. Masyarakat dihadapkan pada pilihan siap atau tidak siap, ijin sudah keluar dan harus dilaksanakan, sepertinya pemerintah memegang teguh semboyan “hutan adalah hutan negara” jadi.. apapun yang dilakukan di hutan negara tidak perlu ijin siapapun termasuk ijin masyarakat… walaupun harus menderita…. Amanah UU/41/1999…BN/2010
0 Komentar
Tinggalkan Balasan