Media Indonesia, 31 Januari 2012, Halaman 22
S Rahma Mary H (Koordinator Program Pembaharuan Hukum dan Resolusi Konfl ik pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis)
Noer Fauzi Rachman (Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria)
Pada 16 Januari 2012, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji telah memaparkan temuan-temuan mereka. Tim ini, yang dibentuk 17 Desember 2011, bertugas mencari fakta yang relevan dan akurat terhadap semua aspek yang terkait dengan peristiwa hukum di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung. TGPF menemukan beberapa hal penting di areal kasus Register 45 yang melibatkan warga dan PT Silva Inhutani, kasus di Desa Sri Tanjung yang melibatkan warga dan PT BSMI, serta kasus Sungai Sodong yang melibatkan warga dan PT Sumber Wangi Alam.
Pertama, TGPF menemukan ada konflik agraria di tiga daerah tersebut yang berujung pada terjadinya kekerasan. Kedua, TGPF meminta Komnas HAM menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dalam kasus kematian seorang warga, yaitu Made Aste di Register 45, Mesuji, Lampung. Ketiga, TGPF meminta ada bantuan kepada korban luka yang masih memerlukan perawatan medis. Keempat, TGPF merekomendasikan agar pemda membantu anak korban, terutama di bidang pendidikan. Kelima, TGPF merekomendasikan LPSK memberi perlindungan kepada saksi dan korban. Keenam, TGPF merekomendasikan pemerintah menindak dan menertibkan badan usaha pengamanan, penanggung jawab, dan perusahaan pengguna pengamanan tersebut. Terakhir, melakukan langkah penegakan hukum kepada pembuat dan pengedar potongan video kekerasan di DPR yang tidak sesuai dengan temuan fakta TGPF di tiga tempat kejadian.
Terhadap kepolisian, TGPF juga merekomendasikan Polri untuk meningkatkan kapasitas penanganan konflik dan mendorong pelarangan penerimaan dana dari pihak ketiga untuk menjaga netralitas dan profesionalitas kerja Polri. Disisi kebijakan agraria, TGPF merekomendasikan kepada PPresiden untuk mempertimbangkan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Reforma Agraria yang pelaksanaannya dipantau Unit Kerja Presiden.
Penanganan kegawatdaruratan
Temuan-temuan TGPF tersebut patut dihargai. Karena TGPF menangani kasus Mesuji itu sebagai suatu kasus, kita bisa mengerti rekomendasirekomendasinya. Untuk menangani kasus yang hadir di depan mata, yang harus didahulukan ialah penanganan kegawatdaruratan, ketika kebutuhan-kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang menjamin kelanjutan hidup rakyat korban dipastikan tersedia. Pemerintah (termasuk pemerintah da erah) mesti melakukan penanganan itu dengan cepat dan tepat sasaran. Selain itu, harus dipastikan pula para rakyat yang merupakan korban bebas dari rasa takut akan intimidasi yang mungkin saja bisa dialami lagi. Semua yang melakukan tindakan penyalahgunaan kewenangan dan penindasan mesti diproses secara hukum dan dipastikan ada tindakan hukum dalam rangka menciptakan efek jera, yakni selain si pelaku tidak akan mengulangi perbuatan tersebut, masyarakat luas menunjukkan bahwa negara hadir dalam melindungi segenap rakyat. Dalam situasi kegawatdaruratan itu, pengategorian antara mana rakyat yang asli (adat) dan mana yang pendatang (migran)—yang dilakukan pihak perusahaan dan pemerintah–sama sekali tidak akan menolong korban. Pengategorian itu akan menimbulkan eksklusivisme dan permasalahan baru.
Konflik-konflik agrarian semacam kasus Mesuji tentu tidak bisa diatasi dengan pemecahan tambal-sulam karena sifatnya yang kronis dan struktural. Apakah kita bias belajar dan apa yang bisa kita pelajari dari cara penanganan kasus Mesuji ini? Perlu dicatat bahwa TGPF juga menemukan akar masalah di tiga kasus Mesuji itu ialah adanya konflik agraria, tetapi rekomendasi-rekomendasi yang mereka hasilkan ternyata tak mencakup audit kebijakan pemberian hak guna usaha (HGU) yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional dan hak pengusahaan hutan tanam an industri (HPHTI) yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan. Hal itulah yang sesungguhnya perlu dipelajari dan diperiksa dengan saksama, bagaimana penggunaan (dan penyalahgunaan) kewenangan dalam proses pemberian konsesi kepada perusahaanperusahaan termaksud yang berakibat menutup kesempatan rakyat setempat untuk mendapatkan manfaat atas sebagian tanah dan kekayaan alam di sana. Dalam rangka penyelesaian kasus, Pemerintah seharusnya dapat menggunakan kewenangannya untuk mengoreksi pemberian HGU dan HPHTI tersebut dengan memastikan tersedianya tanah untuk permukiman dan usaha pertanian rakyat korban itu, bukan justru melanggengkan proses pengeksklusifan itu.
Menuju reforma agraria?
Untuk melengkapi apa yang kami angkat dalam tulisan kami sebelumnya, ‘Mesuji, Konfl ik Agraria yang Kronis’, pada Media Indonesia (26 Desember 2011), kami mengusulkan pemerintah segera melakukan audit menyeluruh kebijakan pemberian konse si dan konsekuensinya pada ketersediaan tanah pertanian dan permukiman untuk rakyat miskin perdesaan. Prinsipnya, badan-badan pemerintahan berkewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak warga negaranya termasuk di dalamnya hak atas tanah, hak atas hidup yang layak, sebagai bagian dari hak ekonomi,sosial, dan budaya. Pemenuhan hak-hak tersebut secara progresif merupakan kewajiban negara, dan sebaliknya,membiarkan terjadinya perampasan-
perampasan tanah oleh perusahaan-perusahaan raksasa merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia by omission, yang terjadi karena negara abai pada upaya melindungi warganya dari pelanggaran HAM yang dilakukan perampas tanah.
Sementara itu, penggunaan kekerasan oleh aparat Negara kepada korban jelas merupakan pelanggaran HAM yang langsung, by commission. Menggunakan perspektif keadilan transisional (transitional justice) untuk penyelesaian konflik agrarian semacam kasus Mesuji akan memungkinkan kita memahami konfl ik agraria ini sebagai suatu tanda dari krisis agraria yang meluas. Pemerintah mestinya secara sungguh- sungguh bisa memahami kecenderungan konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam itu pada perusahaan-perusahaan raksasa.
Di lain pihak, memperhatikan perhitungan mengenai kebutuhan akan tanah untuk permukiman dan usaha pertanian rakyat miskin perdesaan. Pemerintah seharusnya mempunyai gambaran mengenai ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam di seluruh wilayah kabupaten dan provinsi. Hanya dengan gambaran itulah pemerintah bisa merancang program reforma agraria yang menyeluruh. Inpres tentang Reforma Agraria sebagaimana diusulkan TGPF seharusnya diefektifkan untuk menyiapkan gambaran dan desain itu.
0 Komentar
Tinggalkan Balasan