#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Desak DPR Batalkan Pengesahan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan!

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan saat menyampaikan sikap soal RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) kepada Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo, Senin (1/4).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan yang terdiri dari belasan LSM yang peduli terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, mendesak pimpinan Dewan untuk tidak mengesahkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (2/4) besok.

Menurut Koalisi LSM, jika RUU P2H itu disahkan sangat berpotensi mengancam masyarakat lokal dan berpotensi mengkriminalisasi akibat timbulnya ketidakpastian hukum dari pasal-pasal dalam RUU tersebut.

Menurut Siti Rakhma Mary Herwati dari Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), tujuan awal RUU Pemberantasan Perusakan Hutan untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan secara efektif dan memberikan penghukuman yang menjerakan, karena perusakan hutan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, terorganisir, serta dengan cara-cara yang canggih.

“Namun, RUU ini justru akan mengkriminalkan masyarakat lokal sekitar hutan yang hidup dari hasil hutan,” ujar Rakhma saat diterima Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung  Wibowo di Ruang Pimpinan DPR, Lantai 3 Gedung Nusanyata III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/4).

Menurtu Rakhma, dalam  RUU Pemberantasan Perusakan Hutan ini banyak tercantum pasal karet yang menciptakan ketidakpastian hukum, serta cenderung berpotensi disalahgunakan aparat keamanan dalam menertibkan masyarakat lokal sekitar hutan.

Pasal-pasal tersebut akan menghukum perbuatan pidana yang harusnya tidak perlu dipidana. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya lima pasal dalam RUU P2H yaitu pada Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 25. Di sisi lain, sebagaimana Pasal 83 RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, negara sebetulnya memahami adanya masyarakat yang bertempat tinggal di dalam kawasan hutan, namun ternyata tetap diberikan sanksi jika mereka memanfaatkan hasil hutan.

Menurut Rakhma, dalam RUU ini tidak terlihat rasionalisasi tentang jenis (strafsoort) dan berat ringannya pidana (strafmaat) yang menjadi ancaman. Hampir semua tindak pidana diancam dengan pidana sama berat, sehingga berpotensi juga membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan serta mendorong pembentukan lembaga baru dan hakim ad hoc kehutanan yang dinilai tidak diperlukan dan diragukan efektivitasnya.

Sementara itu Pramono Anung mengatakan, pembahasan RUU P2H ini sesungguhnya pembahasan RUU terlama di DPR, karena hingga tujuh kali masa persidangan. “Hal ini mencerminkan betapa alotnya pembahasan RUU ini. Dan, ini tercermin dari panjangnya masa waktu untuk penyelesaian pembahasan RUU ini,” ujarnya.

Atas desakan dari kelompok LSM ini, Pramono pun berjanji akan menyampaikan dan meneruskan aspirasi ini dalam rapat  paripuna besok. “Kebetulan yang memimpin sidang paripurna Selasa besok saya sendiri. Saya berjanji untuk menunda pengesahan RUU ini atas masukan dari rekan-rekan semua,” tegasnya.

***Jurnal Parlemen 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.