JAKARTA, Suara Pembaruan Daily – 12 Oktober 2004 – Lemahnya koordinasi antara lembaga di pemerintahan menyebabkan masalah pertanahan di masyarakat tidak dapat diselesaikan dan menimbulkan konflik-konflik baru. Selain tata aturan yang cenderung bertentangan, selama ini masalah pertanahan telah direduksi sebatas persoalan administrasi.
Ketidakjelasan kebijakan dan aturan tersebut telah membuka peluang terjadinya praktik-praktik mafia pertanahan.
Demikian disampaikan Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sujana Royat, dalam Konferensi Internasional bertema ”Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia Yang Sedang Berubah: Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, di Jakarta, Senin (11/10).
Menurut Sujana, lemahnya koordinasi tersebut lebih disebabkan tata aturan dan kebijakan pertanahan yang masih belum jelas. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar persoalan pertanahan di masyarakat tidak pernah diselesaikan.
“Setiap tahun tercatat rata-rata 15.000 kasus pertanahan yang terjadi di Indonesia namun hanya sekitar 10 persen saja kasus yang dapat ditangani. Ini disebabkan koordinasi yang masih lemah karena tidak didukung dengan dasar aturan yang jelas. Apalagi sejumlah pimpinan birokrasi tidak terlalu peduli terhadap urusan di luar cakupan tugasnya, padahal sangat berkaitan,” katanya.
Dijelaskan, saat ini terdapat 12 undang-undang (UU) yang saling terkait dengan masalah pertanahan tetapi cenderung bertentangan. Sebagai contoh adalah UU Kehutanan dengan UU Pokok Pembaruan Agraria.
Lebih parah lagi, ada birokrat yang membatasi persoalan tanah hanya sekadar administrasi semata yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal, persoalan tanah sangat memerlukan koordinasi antarinstansi dan keterkaitan kebijakan satu dengan yang lainnya.
Tim tersebut dikoordinasi Menko Perekonomian dengan maksud memudahkan koordinasi antarinstansi dalam merancang pengelolaan tanah yang lebih komprehensif dan sederhana.
Dia mengatakan, Bappenas pernah mengusulkan agar semua aturan diubah dan menyusun sebuah aturan baru yang mengatur pengelolaan tanah namun hal itu sulit direalisasikan.
Untuk itu, salah aturan yang masih perlu dipertahankan adalah UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pihaknya juga menolak upaya merevisi UU tersebut yang hanya mereduksi aturan tersebut dan lebih pro liberalisasi pertanahan.
Tap MPR IX
Di tempat yang sama, Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara juga mempertanyakan Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap MPR yang merupakan konsensus politik era reformasi untuk menyempurnakan kebijakan pengelolaan ta-nah tersebut cenderung kontradiktif dan berpotensi menimbulkan konflik.
Ketetapan tersebut sebenarnya lebih menunjukkan kegagalan pemimpin bangsa untuk melahirkan konsensus bersama dalam bidang pertanahan dan tidak perlu digunakan sebagai salah satu dasar dalam menyusun aturan pengelolaan pertanahan lebih lanjut.
Salah satu rekomendasi dari Ketetapan tersebut telah melahirkan sebuah RUU Sumber Daya Agraria yang hingga saat ini belum dibahas tuntas oleh pemerintah dan DPR.
Hakim juga menjelaskan, perlu dirumuskan lebih lanjut bahwa pelanggaran ber- kaitan dengan pertanahan merupakan pelanggaran hak ekonomi atas sumber daya alam dengan kategori pelanggaran berat. Dia menyadari bahwa wacana tersebut masih perlu dioperasionalkan sehingga tidak hanya menjadi cita-cita semata. (H-12)
0 Komentar
Tinggalkan Balasan