#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Menakar Peradilan Desa Adat Dalam UU Desa

Oleh

Nurul Firmansyah

(Koordinator Program Perkumpulan HuMa)

 A.    Pengantar

UU Darurat 1/1951 dan UU 19/1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menghapus pengadilan swapraja (Zelfbesturrrechtspraak), pengadilan adat (Inheemsche rechtspraak) dan pengadilan desa (Dorpjustitie). Sejak diberlakukan dua UU tersebut, maka hanya pengadilan Gubernemen (Gubernemen-rechtspraak) dan pengadilan agama (Godsdientige Rechtspraak) yang diwarisi dalam sistem peradilan Indonesia, Pengadilan Gubernemen menjadi pengadilan negeri dan pengadilan agama (Godsdientige Rechtspraak) mejadi pengadilan agama. Pengaturan penghapusan pengadilan swapraja, pengadilan adat, dan pengadilan desa kemudian diperkuat lagi dengan UU 14/1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 3 ayat (1) UU 14/1970 menyebutkan bahwa semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan melalui UU, Laudjeng (2003).

Penghapusan pengadilan adat dan pengadilan desa jelas menghilangkan saluran ekspresi pelaksanaan hukum adat oleh masyarakat hukum adat. Situasi tersebut memaksa masyarakat hukum adat mempertahankan kepentingan-kepentingan hukumnya ke peradilan Negara dengan sistem dan tata cara yang berbeda dengan hukum adat.

Di lapangan sosial, hukum adat berkembang sendiri dalam unit-unit desa adat. Peradilan adat yang masih bertahan dalam praktek-praktek kehidupan di masyarakat hukum adat berubah menjadi sebuah pilihan penyelesaian sengketa (PPS) diluar peradilan. Peradilan adat dianggap sebagai mekanisme penyelesaian sengketa informal yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya, Hukum adatpun melemah dan tertinggal dari perkembangan pembangunan hukum nasional.

Kondisi diatas diperparah lagi dengan pemberlakukan penyeragaman desa oleh rezim Orde Baru melalui UU 5/79 tentang Pemerintahan Desa. Dengan pemberlakukan UU 5/1979, maka sempurnalah penghancuran Desa adat dan peradilan adat dalam sistem pemerintahan dan sistem peradilan.

Mengeluarkan peradilan adat dari sistem hukum nasional ternyata tidak mampu menghapus secara keseluruhan praktek peradilan adat dan hukum adat dalam kehidupan sosial. Peradilan adat masih hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat. Di Lombok misalnya, hukuman “makurung”, yaitu hukuman “dianggap mati” bagi seseorang yang melanggar hukum adat masih berlaku. Selain itu, hukuman “dibuang sepanjang adat” pada nagari-nagari di Sumatera Barat dengan mengucilkan seseorang secara sosial akibat melanggar hukum adat efektif dilaksanakan. Hal tersebut melahirkan kesenjangan (gap) antara realitas hukum dengan realitas berhukum masyarakat hukum adat. Akibatnya konflik hukumpun terjadi, masyarakat hukum adat vis-à-vis dengan Negara dalam sengketa-sengketa terkait kehidupan masyarakat hukum adat.

Sengketa pertanahan adalah contoh paling baik untuk menyebutkan kontestasi diatas. Secara hukum, sengketa-sengketa tanah (termasuk tanah adat) hanya bisa diselesaikan melalui Pengadilan Negeri dalam rumpun perkara perdata. Putusan-putusan pengadilan negeri banyak yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat hukum adat. Indikator tidak memenuhi  rasa keadilan tersebut terlihat dari menumpuknya kasus-kasus tanah di Mahkamah Agung. Tahun 2012 saja tercatat sebanyak 1.429 kasus tanah yang merupakan 40, 53 persen dari kasus-kasus Perdata yang diterima oleh Mahkamah Agung. Pada tahun 2013 terjadi penanganan sisa perkara perdata sebanyak 3.279 perkara dan perkara yang masuk pada tahun ini sebanyak 3.280 perkara perdata, sehingga beban penanganan perkara perdata tahun 2013 adalah sebanyak 6.559 perkara, dimana 32,77 persen dari jumlah perkara tersebut adalah perkara sengketa tanah atau sebanyak 1.075 perkara.

Penyebab utama menumpuknya penanganan yang berakibat pada tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat hukum adat, adalah ; Pertama, Pengadilan negeri dalam menangani sengketa tanah adatberdasarkan sistem hukum perdata barat, sehingga mengarusutamakan bukti formal hak atas tanah. Di sisi lain, basis hak tanah-tanah adat masih banyak dalam bukti-bukti oral yang hanya dapat ditemukan dalam pengetahuan hukum masyarakat hukum adat itu sendiri; kedua, Hakim-hakim Pengadilan Negeri tidak banyak memahami hukum adat yang beragam sehingga hakim-hakim tersebut memutus berdasarkan bukti tertulis. Dengan kata lain, penanganan perkara tanah adat berada pada rumah yang asing bagi masyarakat hukum adat, sehingga sengketa tanah-tanah adat bersifat menahun dan kronis. Akibatnya, disharmonis sosial terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat.

B.  Peradilan Desa Adat dalam UU Desa

Desa adat dalam UU No. 6/2013 adalah desa asal usul yang mempunyai kewenangan berdasarkan hak asal usul, termasuk kewenangan menyelenggarakan peradilan desa adat. tujuh kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul diatur dalam pasal 103 yang berbunyi : Kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf a meliputi:

  1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
  2. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah atau wilayah adat;
  3. Pelestarian nilai sosial budaya desa adat;
  4. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
  5. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perudangan-undangan;
  6. Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat, dan;
  7. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.

Dari pasal 103 diatas, terdapat beberapa hal yang bisa dikaitkan dengan eksistensi hukum peradilan desa adat, terutama yang terdapat dalam rumusan pasal 103 huruf a, d, dan e. Tulisan ini mengelaborasi hal-hal tersebut, yaitu tentang:  dasar kewenangan penyelenggaran peradilan desa adat, fungsi pengadilan desa adat, kelembagaan pengadilan desa adat, yurisdiksi pengadilan desa adat :

1.  Dasar kewenangan Penyelenggaraan Peradilan desa adat

Dengan melihat Pasal 103 huruf d & e; desa adat melekat kewenangan untuk; Pertama, menyelenggarakan penyelesaian sengketa adat; dan Kedua, sidang perdamaian peradilan desa adat. Pasal tersebut tidak menjelaskan dengan jelas, kapan penyelesaian sengketa adat dilakukan dan kapan perdamaian peradilan desa adat dilakukan. Bila dilihat Pasal 103 huruf d yang menyebutkan Klausul :“penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat,” maka model-model penyelesaian sengketa adat yang ada di desa adat diakui, dan hukum adat adalah sumber hukum dalam penyelesaian sengketa adat tersebut, sehingga segala hal yang terkait dengan penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat; baik itu terkait jenis-jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa adat, dan kelembagaan penyelesaian sengketa adat.

Selanjutnya, pasal 103 huruf d menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat “dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dan dengan mengutamakan musyawarah,” sehingga, pertama, tata cara penyelesaian sengketa adat mesti mengutamakan musyawarah dan kedua, jenis-jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa adat dan hukum adat sebagai sumber penyelesaian sengketa adat tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun, Pasal ini tidak menyebutkan secara jelas, apa saja unsur-unsur dalam penyelesaian sengketa adat yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

2.  Fungsi Pengadilan Desa Adat

Dalam praktek, penyelesaian sengketa adat dilaksanakan oleh pemangku adat. Di nagari-nagari Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat misalnya, penyelesaian sengketa adat dilaksanakan secara bertingkat, seperti dalam pepatah; bajanjang naik, batanggo turun. Penyelesaian sengketa tersebut dimulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir nagari. Dalam penanganan sengketa adat ditingkat kaum dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat yang dihadari oleh pihak-pihak bersengketa dan pemangku adat kaum (ninik mamak kaum), sehingga cara penyelesaian sengketanya mencari perdamaian. Apabila tidak ada kata mufakat terhadap sengketa ditingkat kaum, maka para pesengketa dapat mengajukan sengketanya pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat suku dan nagari. Baik ditingkat suku maupun di tingkat nagari; tata cara penyelesaian sengketa adat tetap mengutamakan cara mencari perdamaian kedua belah pihak melalui musyawarah untuk mufakat, namun apabila perdamaian tidak dapat dihasilkan, maka pemangku adat (panghulu) ditingkat nagari dapat memutus perkara tersebut berdasarkan norma-norma hukum adat.

Dari praktek pengadilan desa adat diatas terlihat bahwa; berdasarkan hukum adat, pengadilan desa adat bersifat mendamaikan dan juga memutus sengketa-sengketa adat. Bila dikaitkan dengan rumusan Pasal 103 huruf d, maka klausul yang menyebutkan“ penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat adalah” dapat dijelaskan sebagai: pertama, kewenangan untuk memutus sengketa adat berdasarkan hukum adat dan kedua, kewenangan mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Selanjutnya, kewenangan mendamaikan sengketa adat selaras dengan pasal 103 huruf e tentang pengaturan kewenangan desa adat dalam melaksanakan sidang perdamaian peradilan adat.

3.  Kelembagaan Pengadilan Desa Adat

Desa adat adalah quasi – Negara yang menjalankan kewenangan pemerintahan desa, sekaligus menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal usul. Desa adat adalah perpaduan sistem pemerintahan modern dengan tradisional, sehingga dalam konteks tersebut, kelembagaan desa adat dalam derajat tertentu dapat mengadopsi kelembagaan tradisional.

Terkait dengan kelembagaan pengadilan adat adalah bagian dari kelembagaan tradisional desa adat yang dalam definisi hukum disebut dengan “susunan asli. ”Maka, kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktek sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat). Posisi UU Desa adalah mengakui keberadaan kelembagaan pengadilan desa adat tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 103 huruf a yang menyebutkan bahwa ; pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan oleh desa adat berdasarkan susunan asli. Susunan asli sendiri dalam penjelasan pasal 103 huruf a adalah: sistem organisasi kehidupan desa adat yang dikenal di wilayah-wilayah masing-masing. Dengan merujuk rumusan pasal 103 huruf a dan dikaitkan dengan pasal 103 d & e, maka kelembagaan pengadilan desa adat adalah pengadilan adat yang dikenal oleh masyarakat hukum adat, baik yang berfungsi memutus, maupun yang berfungsi mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Artinya, Pengadilan-pengadilan yang dikenal oleh masyarakat hukum adat itulah yang kemudian diakui menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan UU ini.

4.  Yurisdiksi Pengadilan Desa Adat

Yurisdiksi pengadilan desa adat terkait dengan kewenangan pengadilan desa adat dalam menyelesaikan sengketa adat. penyelesaian sengketa adat seperti yang dielaborasi dalam pembahasan sebelumnya akan terbatasi dengan yurisdiksi pengadilan Negara. Pembagian yurisdiksi antara pengadilan Negara dengan pengadilan desa adat pernah berlaku di masa pemerintahan kolonial Belanda. Pengadilan desa adat (Dorpjustitie) berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat atau urusan desa, seperti perselisihan tanah, pengairan, perkawinan, mas kawin, perceraian, kedudukan adat dan lain-lain perkara yang timbul dalam masyarakat hukum adat bersangkutan, Laudjeng (2003). Para hakim desa tidak boleh menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur dalam KUHP dan apabila para pihak yang berselisih tidak puas dengan keputusan hakim desa adat, ia dapat mengajukan perkaranya kepada hakim gubernemen (hakim Negara). Kelembagaan peradilan desa adat tidak diatur dalam perundang-undangan, tetapi diserahkan kepada hukum adat setempat, Laudjeng (2003). Pengadilan desa di masa Kolonial Belanda dibatasi oleh kewenangan pengadilan Negara dalam hal sengketa-sengketa pidana. Selain itu, keputusan pengadilan desa adat tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat karena masih memungkinkan menggunakan pengadilan Negara pada sengketa yang sama.

Pada konteks hari ini, yurisdiksi pengadilan desa adat perlu melakukan sinkronisasi dengan kewenangan pengadilan Negara, terutama pada fungsi memutus sengketa adat. sedangkan fungsi mendamaikan masih memungkinkan dilaksanakan pada semua sengketa-sengketa perdata, dan pada derajat tertentu pada sengketa tindak pidana ringan.

Kewenangan Pengadilan desa adat yang bersifat memutus paling memungkinkan dapat diberlakukan pada sengketa tanah (terutama untuk sengketa tanah adat). Basis hukumnya adalah; UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui hukum adat sebagai hukum agraria nasional, sehingga pengakuan pengadilan desa adat oleh UU Desa dalam memutus sengketa-sengketa adat—termasuk sengketa tanah adat serasi (sinkron) dengan UUPA.

Namun di sisi lain, UUPA bersifat mendua dalam mengakui hak adat atas tanah, karena mengakomodir hak-hak atas tanah yang berbasis hak barat (hak perdata), seperti hak milik, hak guna usaha (HGU) dan lain-lain. Dampaknya adalah; Penyelesaian sengketa terhadap hak atas tanah (hak milik, HGU dll) berada pada yurisdiksi pengadilan negeri, sehingga tumpang tindih antara pengadilan negeri dengan pengadilan desa adat dapat terjadi pada; pertama, sengketa tentang hak atas tanah yang berada di wilayah masyarakat hukum adat; dan kedua, sengketa hak atas tanah terkait dengan kepentingan hak adat (hak ulayat). Misalnya; bagaimana menyelesaikan sengketa antara badan hukum yang memiliki HGU dengan masyarakat hukum adat diatas tanah adat.

C.   Sinkronisasi Hukum Untuk Implementasi Peradilan Desa Adat

Sinkronisasi hukum merupakan isu krusial terkait implementasi peradilan desa adat kedepan. Sinkronisasi hukum terkait dengan yurisdiksi pengadilan desa adat dengan sistem peradilan nasional. Pengadilan desa adat tidak diatur dalam rezim hukum sistem peradilan nasional, namun lahir melalui UU desa dalam rezim hukum pemerintahan. Sehingga, sinkronisasi hukum menjadi hal penting untuk menjalankan pengadilan desa adat dalam kaitannya dengan ranah peradilan nasional. Terdapat beberapa point penting tentang sinkronisasi hukum terkait yurisdiksi, yaitu :

1.   Kekuatan hukum dari putusan Pengadilan Desa Adat (Problem Yurisdiksi)

Point ini terkait dengan pertanyaan; Pertama, apakah pengadilan adat mempunyai yurisdiksi absolut terhadap sengketa-sengketa adat yang memungkinkan secara hukum diselesaikan melalui pengadilan desa adat?, dan kedua, apakah putusan pengadilan desa adat mempunyai kekuatan hukum mengikat?

Untuk menjawab Pertanyaan pertama, terkait dengan posisi kelembagaan pengadilan desa adat dan yurisdiksinya dalam sistem peradilan nasional. Yurisdiksi yang tidak jelas dalam sistem peradilan nasional memposisikan kembali pengadilan desa adat sebagai pengadilan informal. Oleh sebab itu, perumusan norma RPP desa sebagai peraturan pelaksana desa adat (termasuk pengadilan desa adat) yang sedang digodok perlu disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem peradilan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sengketa adat dan hak adat. Selain itu, RPP ini juga mesti merumuskan norma yang jelas tentang batasan yurisdiksi pengadilan desa adat. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, yurisdiksi pengadilan desa adat yang paling memungkinkan untuk masuk secara keseluruhan dalam yurisdiksi pengadilan desa adat adalah tentang sengketa tanah adat.

Selain itu, peradilan nasional dan lembaga-lembaga pro-justitia lainnya, perlu juga melakukan sinkronisasi pada peraturan operasionalnya terkait yurisdiksi pengadilan desa adat, yang sebenarnya dalam praktek telah ada inisiatif berupa kebijakan mengakomodasi penyelesaian sengketa oleh pengadilan desa adat, misalnya; pertama, program Polisi Masyarakat (Polmas); memberi derajat tertentu terhadap penyelesaian perdamaian tindak pidana ringan kepada pengadilan desa adat yang hidup di masyarakat hukum adat, kedua, kebijakan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat yang mewajibkan Pengadilan-Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya untuk memberi keleluasaan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai pengadilan desa adat untuk menyelesaikan sengketa adat terlebih dahulu, dan apabila sengketa tersebut diteruskan ke Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri mesti merujuk pada keputusan KAN dalam menyelesaikan perkara adat tersebut.

Sedangkan untuk menjawab pertanyaan kedua, berhubungan dengan hal-hal yang terkait dengan jawaban dalam pertanyaan pertama, yaitu tentang sinkronisasi hukum yang dilakukan dalam pengaturan pelaksana desa adat (RPP Desa Adat) dan sinkronisasi dalam sistem peradilan nasional berakibat pada kualitas putusan pengadilan desa adat secara hukum. Dengan kejelasan yurisdiksi pengadilan desa adat, maka sengketa-sengketa yang masuk dalam yurisdiksi peradilan desa adat tidak lagi diperiksa oleh pengadilan negeri, kekuatan pengadilan desa adat menjadi sejajar dengan pengadilan negeri, sehingga pengadilan desa adat tidak lagi merupakan sub-ordinat pengadilan negeri yang keputusannya hanya sebagai pertimbangan. Oleh sebab itu, untuk menjamin Pengadilan desa adat ini bisa dijalankan, maka Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri) mesti memperjelas yurisdiksi pengadilan desa adat yang diatur secara detil dalam norma yang ada dalam RPP Desa adat.

2.  Tumpang tindih Yurisdiksi dalam sengketa Pertanahan

Penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan tidak sepenuhnya bisa mutlak di serahkan pada yurisdiksi pengadilan desa adat, karena inkonsistensi UUPA dalam mengatur hak atas tanah. Satu sisi berdasarkan hukum adat bagi tanah adat dan tanah ulayat, di sisi lain, berdasarkan hak atas tanah barat (perdata). Konsekuensinya adalah tumpang tindih yurisdiksi penyelesaian sengketa hak atas tanah dalam wilayah desa adat antara pengadilan desa adat dengan pengadilan negeri. Dalam hal ini, perlu adanya dialog dan kesepahaman bersama antar lembaga Negara, yaitu Pemerintah dengan Mahkamah Agung untuk melakukan sinkronisasi hukum terkait pelaksanaan pengadilan desa adat.

Menjadikan pengadilan desa adat sebagai pengadilan khusus dalam sistem peradilan nasional perlu dibahas sebagai sebuah alternatif. Sehingga yurisdiksi pengadilan desa adat bukan hanya menyelesaikan sengketa adat terhadap anggota masyarakat hukum adat (internal masyarakat hukum adat), namun juga terhadap subjek hukum lain yang berhubungan dengan kepentingan hukum masyarakat hukum adat, terutama terkait hakatas tanah dalam wilayah desa adat.

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.