[Jakarta, 3 Oktober 2013] Pada 8 – 10 Oktober nanti, HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hukum Rakyat dengan tema “Hukum Rakyat, Menata Masa Depan Indonesia” di Wisma Soegondo, Cibubur, Jakarta Timur. KTT ini akan dihadiri oleh ratusan Pendamping Hukum Rakyat (PHR) berbagai penjuru negeri, mulai dari Aceh hingga Papua.
“Ditengah kemerosotan wibawa hukum dan peradilan negara, KTT Hukum Rakyat ini didorong untuk menjadi basis gerakan pembaharuan hukum yang mengusung paradigma alternatif yang menempatkan rakyat sebagai aktor ter-utama dan terpenting”, ungkap Asep Yunan Firdaus, Ketua Panitia KTT Hukum Rakyat.
Malam tadi (2 Oktober 2013), pemberitaan peristiwa penangkapan Ketua MK oleh KPK menujukkan titik nadir dari sistem peradilan negara, dimana jantung dari penjaga konstitusi RI (Mahkamah Konstitusi) tidak luput dari perilaku korup. Peristiwa tersebut seperti palu godam yang meluluhlantakkan harapan para pencari keadilan.
Namun demikian sepanjang umurnya memang MK digunakan sebagai forum pencarian keadilan bagi kelompok elit, terutama parpai politik/politikus. Hasil penelitian HuMa hingga akhir tahun 2012, 48,5 % pencari keadilan di MK adalah Politikus, 42,8 % adalah orang-orang yang melek hukum, dan hanya 6,5 % nya adalah rakyat.
“Inilah bukti sedang terjadinya stagnasi hukum di negeri ini, dimana penegakan hukum sarat korupsi dan melahirkan mafia hukum; lembaga peradilan tidak mewujud menjadi agen dan ujung tombak pembaharuan hukum; dan politik dan arah pembaruan hukum yang elitis.” Demikian ditegaskan oleh Chalid Muhammad, Ketua Badan Pengurus HuMa.
HuMa memiliki keyakinan bahwa bila hukum rakyat ditempatkan dengan tegas sebagai bagian integratif dari sistem hukum nasional, maka tatanan hukum Indonesia tidak akan stagnan seperti yang disebutkan di atas. HuMa saat ini sudah melatih lebih dari 1.000 orang di seluruh Indonesia untuk didorong agar menjadi aktor pembaruan hukum bersama rakyat. PHR telah diberikan modal kemampuan memfasilitasi hukum rakyat dan advokasi kasus-kasus yang bekerja bersama masyarakat adat/lokal.
Apalagi konflik-konflik sumber daya alam dan agraria terus menggila. Dalam penelitian HuMa, di tahun 2012 telah terjadi 232 konflik sumber daya alam dan agraria, yang terjadi di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik ini mencapai 2.043.287 hektar. Tak kurang dari 91.968 orang dari 315 komunitas menjadi korban dalam konflik sumberdaya alam dan agraria ini.
Sektor perkebunan menjadi sektor yang paling banyak terjadi konflik, disusul kehutanan dan pertambangan. Konflik perkebunan terjadi di 119 kasus dengan luasan 415 ribu hektar, sementara konflik kehutanan terjadi 72 kasus dengan hampir 1.3 juta hektar di 17 provinsi, dan konflik pertambangan 17 kasus dengan 30 ribu hektar.
“Banyak sekali keberhasilan-keberhasilan yang telah dilakukan oleh para PHR. Mereka telah bekerja untuk mendorong implementasi berbagai Kebijakan pemerintah untuk memperkuat hak tenurial, ketahanan ekonomi, dan partisipasi masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam. Contohnya saja di Sumatera Barat, mereka telah berhasil mendorong perda tentang pemulihan hak ulayat di Kabupaten Pasaman Barat dan Propinsi Sumatera Barat. Di Jawab Barat, para PHR telah mendorong Peraturan Daerah Baduy serta surat keputusan untuk melakukan pengelolaan wilayah menjadi buah dari kerja keras PHR,” terang Andiko, Direktur Eksekutif HuMa.
“Harapan besar muncul dari pelaksanaan KTT ini yaitu bagaimana agar upaya pembaharuan hukum tidak hanya menjadi agenda elit yang jauh dari jangkauan rakyat banyak, selain untuk mengkonsolidasikan para PHR dari seluruh Indonesia agar mampu memperkuat dan mempercepat gerakan pembaharuan hukum di Indonesia.” Papar lebih lanjut dari Chalid Muhammad.***
1 Komentar
Tinggalkan Balasan