#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

CERITA PERUMPUAN ADAT KASEPUHAN KARANG DALAM MENGELOLA HUTAN ADAT

CERITA PERUMPUAN ADAT KASEPUHAN KARANG DALAM MENGELOLA HUTAN ADAT

Kondisi Lapangan yang Perlu Diakomodir dalam Perubahan UU Kehutanan

Panggilannya Een. Seorang Perempuan Adat yang bernama lengkap Een Suryani dari Kasepuhan Karang. Tempat tinggalnya berada di Lebak, Banten, hanya berjarak 105 km atau tiga jam lebih dari Jakarta. Een menjadi salah satu Narasumber dalam kegiatan HuMaVoice ke-10. Forum diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa Indonesia mengangkat tema “Saatnya UU Kehutanan Berubah” di HuMa Co-Working Space, Jakarta Selatan (23/01/2025).

Een dan Masyarakat adat Kasepuhan Karang lainnya berada di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, yang telah ditetapkan sebagai hutan adat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (saat ini Kementerian Kehutanan) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: SK.6748/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 tentang Penetapan Hutan Adat Kasepuhan Karang Seluas 462 (Empat Ratus Enam Puluh Dua) Hektar di Desa Jagaraksa Kecamatan Muncang Kabupaten Lebak Provinsi Banten tertanggal 28 Desember 2016.

Een menceritakan sebelum dan sesudah pengakuan hutan adat. Een menjelaskan, sebelum pengakuan hutan adat, di Kasepuhan Karang perempuan mengelola hutan merasa was-was dan tidak semangat mengelola hutan, tapi setelah sudah disahkan dan dapat pengakuan kami merasa lebih lega dan bersemangat mengelola hutan. Ia menceritakan, setelah pengesahan warga menjadi memiliki banyak pengalaman, karena banyak yang berkunjung kesana, terutama soal pemberdayaan perempuan. Ia menjelaskan, dulu perempuan di sana tidak mau bertemu orang-orang, namun sekarang sering datang tamu perempuan bisa lebih terbuka.

Namun, menurut Een kehidupan di sana bukan hanya tentang hutan saja, tapi ada aspek lain seperti; pendidikan dan kesehatan. Ia merasa sampai saat ini, aspek itu yang belum difasilitasi oleh pemerintah. Secara umum, meski sudah lebih baik dengan sudah ditetapkan, namun pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah.

Lebih jauh, Een menceritakan, bahwa sekolah di sana aksesnya sangat jauh, dan yang bisa diakses hanya PAUD dan SD, sementara SMP dan SMA meski menempuh perjalanan jauh. Masalah lainnya, kalau tidak ada kendaraan tidak sekolah akhirnya. Ia juga menceritakan bahwa di sana, umumnya yang sekolah hanya laki-laki saja. Sementara perempuan hanya sampai SD setelah itu bertani dan menikah.

Narasumber lainnya, Andiko sebagai Anggota HuMa menjelaskan bahwa pengalaman Bu Een adalah potret kecil saja, masih banyak persoalan yang perlu dibenahi. Misalnya, masih banyak akses jalan yang belum bagus sehingga akses perputaran ekonomi agak sulit. Pemerintah desa setempat biasanya beralasan bahwa status jalan hutan konservasi, maka tidak bisa dibuat jalan. Andiko kemudian mencontohkan pada kasus di luar negeri yang memberi akses meskipun masuk kawasan konservasi.

Menurut Andiko, dalam kacamata Human Right, akses adalah hal penting bagi setiap individu. Jadi harusnya desa di kawasan hutan juga mendapatkan akses yang sama dan setara.  

Een berharap pemerintah bisa melihat secara langsung ke masyarakat adat. Menurutnya pemerintah jadi perhatikan kehidupan dan keberlangsungan hidup kita, seperti akses sekolah, kesehatan, dan jalan-jalan. Ia memohon pada pemerintahan untuk juga melihat masyarakat adat dan yang butuhkan tolong diperhatikan.

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.