#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Masyarakat Sipil Menilai Dokumen INDC Tidak Jelas dan Tidak Partisipatif

Jakarta, 17 September 2015 – Koalisi organisasi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan Indonesia dan iklim global menyampaikan masukan atas proses INDC (Intended Nationally Determined Contributions) Indonesia. Sisilia Nurmala Dewi dari HuMa, selalu juru bicara koalisi, mengatakan bahwa masukan koalisi ini berdasarkan draf yang beredar secara resmi.

Menurut Sisilia, banyak hal dalam draf dokumen INDC yang akan disampaikan bulan ini ke UNFCCC masih lemah, kurang jelas dan tidak partisipatif. “Kenyataan bahwa emisi dari deforestasi tidak menurun, dan bahkan cenderung meningkat, tidak juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan komitmen penurunan emisinya, seperti yang tercermin dalam Draf Dokumen INDC,” jelasnya, “Penentuan angka penurunan emisi yang 29% sampai tahun 2030 tidak jelas dasarnya. Sementara rencana pembangunan yang lebih menekankan eksploitasi sumber daya alam lebih besar, justru cenderung meningkatkan emisi.”

Sisilia juga menegaskan, “Kami sangat menyarankan agar INDC memasukkan unsur-unsur Spesifik, Terukur, Relevan, dan Berbasis waktu (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Time-bound/SMART), untuk bisa mencapai target penurunan emisi yang bisa diverifikasi di masa depan.”

Hal ini, lanjut Sisilia, juga seharusnya mencakup kegiatan yang kredibel, yang akan dilakukan pemerintah mulai saat ini sampai dengan tahun 2020. “Kegiatan itu akan membangun fondasi pembangunan bertanggung jawab jangka panjang, serta jalan menuju nol emisi,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Abetnego Tarigan, menggarisbawahi, “Problem ikutan yang ‘menghantui’ masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia adalah kabut asap yang hadir selama kurun waktu 15 tahun terakhir ini.”

Hingga kini, lanjut Abetnego, tercatat kurang lebih 120 ribu masyarakat di tiga provinsi di Indonesia, menderita ISPA saat kebakaran hutan dan lahan di tahun 2014. “Dan menurut kami, adalah tugas obligasi Negara untuk memastikan NOL DEFORESTASI,” tegasnya.

Menurut koalisi, INDCs tampak kontraproduktif antara target penurunan emisi dengan model pembangunan, yang tetap mengedepankan penggunaan energi kotor dan penggundulan/bongkaran kawasan hutan. Bagaimana mungkin menurunkan emisi karbon 29% pada 2030, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara justru meningkat 2 kali lipat, dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Belum lagi emisi karbon yang dibakar dari minyak dan gas, baik dari pembangkit listrik maupun kendaraan bermotor.

Menurut koalisi, hingga kini tidak jelas upaya pemerintah dalam upaya memperbaiki moda transportasi publik yang tidak rakus energi fosil. Sementara kawasan-kawasan hutan yang difungsikan untuk menyerap emisi, justru makin banyak yang dirusak, untuk dibongkar menggali batubara dalam rangka memenuhi kebutuhan PLTU, sekitar 250 juta ton/tahun.

Sementara itu, Forest Watch Indonesia (FWI) melihat sisi lain pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, sebagai negara kepulauan, justru perlindungan pulau-pulau kecil terabaikan. Dalam draf rencana INDCs disebutkan bahwa ‘Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga adaptasi perubahan iklim berbasis darat dan laut sebagai strategi yang terpadu dalam menjamin ketahanan pangan, air, dan energi’. Dalam draf INDCs juga dikatakan bahwa ‘pulau-pulau kecil adalah wilayah yang sangat rentan dalam hal perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut‘.

“Hal ini dikarenakan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem hutan alam di pulau kecil tersebut,” ujar Direktur Forest Watch Indonesia, Bob Purba, “Kajian yang dilakukan FWI menunjukkan, dari total 7 juta ha daratan di pulau-pulau kecil, hanya tersisa 48% yang memiliki tutupan hutan alam.” Kondisi seperti ini, menurut Bob Purba, menunjukkan bahwa perlunya keterpaduan upaya dalam hal adaptasi dan mitigasi menghadapi perubahan iklim di pulau-pulau kecil.

Menurut koalisi, bukti minimnya perlindungan hutan dan lahan gambut terlihat dari kasus kebakaran hutan dan asap yang masih terjadi hingga saat ini. “Moratorium hutan yang diperpanjang bulan Mei lalu sampai 2017, terbukti tidak kurang kuat melindungi hutan dan gambut Indonesia,” ujar Sisilia, “Seruan penguatan moratorium sudah disampaikan di awal tahun oleh koalisi dan hal tersebut tidak mendapat respons yang baik dari Pemerintah.”

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa tingkat deforestasi justru meningkat, meskipun moratorium diberlakukan. Kenaikan tingkat deforestasi ini terjadi di hutan sekunder atau di wilayah berhutan di dalam konsesi yang tidak dilindungi oleh kebijakan moratorium. “Perpanjangan ini juga tidak menyelesaikan masalah tumpang tindih izin yang ada di hutan moratorium yang mencapai 5,7 juta hektare,” jelas Sisilia, “Dengan demikian, sekitar 48,5 juta hektare hutan hujan Indonesia masih tetap terancam.”

 

Contact Person:

Perkumpulan HuMa         : Sisilia Nurmala Dewi (0821-1005-6308).

AMAN                                : Abdon Nababan.

Forest Watch Indonesia  : Bob Purba.

WALHI                               : Abetnego Tarigan.

Greenpeace Indonesia     : Yuyun Indradi (0812-2616-1759).

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.