Bak panggang jauh dari api, begitulah pandangan Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (DKN) pada tahun 2010 yang tertuang dalam kertas posisinya. Mengapa demikian? Masyarakat adat dan komunitas lokal yang diwakili oleh Kamar Masyarakat ini melihat bahwa perubahan iklim telah membawa dampak di kampung mereka masing-masing, akan tetapi upaya penanganan perubahan iklim di tingkat lokal masih sangat minim. Pada saat yang sama, banyak sekali energi justru terpusat pada mitigasi.
Tanpa mengabaikan pentingnya mitigasi, beberapa argumen bahkan menyatakan bahwa mitigasi merupakan dari upaya adaptasi terhadap perubahan iklim, HuMa memiliki pandangan yang sama dengan Kamar Masyarakat DKN, yakni bahwa perhatian terhadap adaptasi perubahan iklim perlu lebih ditingkatkan. Gayung rupanya bersambut. KLHK telah menyiapkan tools untuk menilai tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap perubahan iklim, yang setali tiga uang dapat turut mengidentifikasi potensi suatu wilayah, yang dalam hal ini menggunakan desa sebagai satuan unitnya. Tools tersebut disebut dengan Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) Perubahan Iklim. Pengidentifikasian dilakukan dengan menggunakan tiga indikator, yakni (1) tingkat keterpaparan, (2) sensitivitas, dan (3) kemampuan adaptif.
Dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim KLHK pada tanggal 7 Agustus 2015, wilayah adat merupakan area yang layak untuk mendapat perhatian lebih mengenai adaptasi perubahan iklim. Selain karena wilayah yang dihuninya merupakan ekosistem yang dikelola dengan pengetahuan tradisional, masyarakat hukum adat juga memiliki kerentanan yang tinggi mengingat ketergantungannya pada alam untuk keberlangsungan hidup, sehingga perubahan pada alam, akan memberikan dampak yang signifikan. Perubahan iklim yang kian nyata dampaknya, dalam beberapa kasus juga membuat pengetahuan tradisional meleset dari situasi riil. Sebagai contoh, Jusupta Tarigan, Direktur NTFP, menyatakan bahwa masyarakat Danau Sentarum terbiasa memprediksikan cuaca melalui posisi bulan. Dalam perkembangannya, metode ini tidak lagi akurat.
Oleh karena itu, dalam kesempatan tersebut, HuMa dan Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim bersepakat untuk berkolaborasi melakukan identifikasi tingkat kerentanan iklim di 15 wilayah adat yang didampingi oleh mitra-mitra HuMa, yakni JKMA Aceh, KKI Warsi, Perkumpulan Qbar, Akar Bengkulu, RMI, LBBT, Padi, AMAN Sulawesi Selatan, Perkumpulan Wallacea, Perkumpulan Bantaya, dan Yayasan Merah Putih Palu. Upaya ini kami lihat sebagai proses mendekatkan panggang pada api.
0 Komentar
Tinggalkan Balasan