#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Menuntut Pengakuan Masyarakat Adat sebagai Aktor Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Skema UN CBD

 Sumber foto: cbd.int

ditulis Oleh Nabila Revianti

Indonesia merupakan negara peserta dari the Convention on Biological Diversity Konvensi (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mulai berlaku secara resmi pada tanggal 29 Desember 1993. Konvensi ini memiliki tiga tujuan utama: pelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, dan pembagian manfaat yang adil dan merata dari pemanfaatan sumber daya genetik.

Sebagai negara peserta, Indonesia wajib menetapkan target per sepuluh tahun untuk kerja-kerja perlindungan keanekaragaman hayati di level nasional. Target itu dicantumkan dalam dokumen bernama Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Karena target sampai 2020 sudah berakhir, Indonesia sedang mempersiapkan dokumen IBSAP yang baru, dikoordinasi oleh Bappenas. IBSAP baru ini harus sesuai dengan dokumen kerangka global per dasawarsa hasil konferensi negara-negara peserta CBD ke-15 tahun 2022, nama dokumennya Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM GBF). Penting diulas, dokumen KM GBF ini mengakui peran penting wilayah dan praktik adat dan pengetahuan tradisional dalam konservasi dan pengelolaan ekosistem alami. Perlu ada penekanan pada keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat sebagai pemeran utama dalam usaha melestarikan keanekaragaman hayati. Upaya ini harus diiringi pula dengan prinsip inklusivitas, yang menghormati hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan partisipasi aktif dari berbagai kelompok, termasuk perempuan, pemuda, masyarakat adat, serta lokal.

HuMa tergabung dalam WGII mendorong perlindungan hak masyarakat adat sebagai aktor utama konservasi keanekaragaman hayati dalam dokumen IBSAP yang baru ini. WGII atau Working Group ICCAs Indonesia adalah wadah koordinasi dan sinergi para pemangku kepentingan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Adat di Indonesia yang terlahir pasca penyelenggaraan Simposium ICCAs di Bogor pada 13-14 Oktober 2011. WGII dibentuk dengan tujuan untuk memahami dan memperkuat peran masyarakat adat dalam menjaga kelestarian alam di Indonesia melalui penerapan kearifan lokal mereka. WGII terjalin dari kolaborasi berbagai organisasi termasuk HuMa, AMAN, BRWA, JKPP, NTFP-EP, KIARA, PUSAKA, SAWIT WATCH, WALHI, dan WWF. Upaya WGII fokus pada mendorong pengakuan dan penghargaan terhadap wilayah dan area konservasi yang dikelola oleh masyarakat adat dan komunitas lokal (ICCAs).

Saat ini, keterlibatan masyarakat adat dalam penyusunan IBSAP belum terlihat. Padahal, masyarakat adat dan lokal memiliki peran penting dalam perlindungan keanekaragaman hayati, dengan pola pengelolaan lahan sesuai kearifan lokal mereka. Data RRI menunjukan masyarakat adat dan komunitas lokal secara tradisional terbukti ikut melestarikan 80% biodiversitas dunia. Data WGII, BRWA, dan FWI menunjukan 70% tutupan lahan di wilayah adat  masih dalam kondisi baik. Ini disebabkan kenyataan bahwa konservasi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Bagi banyak masyarakat adat dan komunitas lokal, konservasi merupakan bagian penting dari budaya mereka dan juga sumber kehidupan. Alasan paling utamanya adalah, tentu saja, sebab masyarakat sering kali hidup bergantung pada sumber daya alam di sekeliling mereka, seperti sungai, lahan pertanian, dan hutan. Kehadiran sumber daya alam ini dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan primer masyarakat, misalnya makanan, obat-obatan tradisional, bahan bangunan, juga sumber penghasilan utama. Selain itu masyarakat adat dan lokal mewarisi pengetahuan dan praktik berkelanjutan yang telah dilestarikan selama turun-temurun untuk menjaga keseimbangan ekologi dan kelestarian lingkungan tempat tinggal mereka. Konservasi bukan hanya sebuah tindakan, tetapi juga cerminan identitas budaya dan sebuah cara hidup yang harmonis bersisian dengan alam.

Praktik konservasi tradisional masyarakat adat perlu dihargai dan direkognisi, serta diberi peran yang aktif dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam. Sayangnya, peran-peran ini belum dihargai negara dalam perumusan kebijakan konservasi. Bahkan masyarakat adat sering menjadi korban kebijakan konservasi negara. Data HuMa tahun 2018 menunjukkan adanya 86 konflik terkait hutan, dengan 27 di antaranya terjadi di Taman Nasional. Sebanyak 13 kasus konflik ini berujung pada kekerasan. Konflik-konflik ini memiliki kaitan erat dengan isu sosial dan ekonomi. Sementara itu, Komnas HAM mencatat terdapat 40 kasus masyarakat yang bersengketa dengan kawasan hutan, di mana sebagian besar merupakan kawasan konservasi.

Dalam pertemuan dengan Bappenas dan beberapa kementerian/lembaga di Bogor pada 15 Maret 2024, WGII menilai bahwa komitmen yang tercantum dalam KM-GBF memberikan harapan baru yang segar karena menuntut negara-negara anggota, termasuk Indonesia, untuk menetapkan tujuan yang ambisius dalam upaya mencegah dan memulihkan kerusakan keanekaragaman hayati dengan cara yang transformatif secara fundamental dan melibatkan semua pihak tanpa terkecuali. WGII menekankan salah satu yang ditekankan oleh target global di dasawarsa kali ini adalah perubahan dari konsep negara-sentris menjadi konsep whole society. Artinya, kerja perlindungan keanekaragaman hayati harus inklusif.

Tuntutan terhadap proses IBSAP ini antara lain: menempatkan masyarakat adat jadi mitra strategis; mengedepankan whole society approach; IBSAP jadi dokumen yang mengakselerasi pengakuan pengetahuan tradisional masyarakat adat; memastikan proses konsultasi yang inklusif; melibatkan semua pihak dalam proses monitoring dan pelaporan; dan mekanisme balai kliring yang inklusif dan aksesibel.

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.