#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Mini Festival dan Diskusi Pengetahuan Tradisonal Perempuan Adat

Kamis, 23 Februari 2023 – Perkumpulan HuMa Indonesia bersama dengan PEREMPUAN AMAN menyelenggarakan Mini Festival dan Diskusi Pengetahuan Tradisional Perempuan Adat yang menghadirkan 4 Perempuan Hebat dengan berbagai latar belakang yang membahas mengenai pengetahuan-pengetahuan lokal yang menjadi kehebatan dari Perempuan Adat serta kebijakan Hak Kolektif Perempuan Adat sebagai salah satu kunci implementasi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Selain diskusi, HuMa bersama PEREMPUAN AMAN menyajikan beberapa foto-foto, kerajinan tangan dan hasil olahan bumi yang dilakukan oleh masyarakat adat dari wilayah-wilayah belajar dan pengorganisasian keduanya. Acara ini juga dihantarkan oleh Ritual Adat Tulak-Bala yang dilakukan oleh Ibu Niliani, Perempuan Adat dari Barito Timur sebagai penyertaan leluhur untuk memberkati kegiatan yang berlangsung.

 

PEREMPUAN ADAT ADALAH KUNCI PENGETAHUAN LOKAL

Fakta tentang pengetahuan lokal yang dimiliki perempuan adat tidak ada habisnya. Mereka sangat menguasai dan memahami betul pengetahuan mereka. “Dalam hal memilih benih, kami tahu dan teliti untuk memilih mana bibit bagus untuk ditanam. Selain itu, dalam membuat lubang untuk menanam benih, kami yang tahu. Bila laki-laki yang memasukkan benih, bisa berhamburan.” ucap Nilaini.

Selain dalam perladangan, dua perempuan adat dari To Cerekang juga memiliki kosmetik andalan yang berbahan dasar dari wilayah adat mereka. Mereka menciptakan 3 (tiga) bedak, yaitu bedak bolong atau lulur hitam, bedak rica untuk anak, dan bedak rica untuk dewasa. Fatmawati menyampaikan, “Pembuatan bedak-bedak tersebut bahan-bahannya diambil dari pekarangan sekitar rumah, demplot yang dibentuk ibu-ibu. Kami secara bersama-sama membangun demplot yang digunakan untuk mengembangkan bahan-bahan tradisional dan mengembangkan serta meramunya jadi kosmetik yang bisa dijual.” 

 

PEREMPUAN ADAT : PENGGERAK  &  PELESTARI PENGETAHUAN LOKAL

Pengetahuan lokal adalah bagian mendasar bagi bangsa kita. Ketika bicara Bhineka Tunggal Ika, ini bagian dari kebudayaan yang dibangun, dijalin, dianyam dengan tekun dan konsisten oleh perempuan adat. Produk-produk dalam pameran adalah kebanggaan menggunakan kain tenun, itu pengetahuan yang dibangun perempuan adat didasarkan pada wilayah adatnya. Satu hal yang jadi modal dasar. Secara simbolis dipakai, ketika dibicarakan, hilang. Aktor utama yaitu perempuan adat juga akan hilang.

Devi Anggraini mewakili PEREMPUAN AMAN menyampaikan, “Pengetahuan Lokal menekankan pada 2 (dua) hal. Kesatu, gerakan masyarakat adat dianggap satu entitas “masyarakat adat”. Perempuan adat tidak dilihat sebagai aktor dan pemangku hak khusus. Perempuan adat tidak memiliki hak yang memadai: perempuan adat dianggap sudah diatur dalam hak perempuan sebagai hak asasi individu; atau hak masyarakat adat. Padahal ada kondisi khusus yang dialami perempuan adat, yang tidak diakomodasi oleh hak perempuan sebagai individu dan hak masyarakat adat sebagai entitas. Kedua, ancaman pengetahuan tradisional perempuan adat melalui beberapa kebijakan yang tidak mendukung keberadaan hak kolektif perempuan adat. PEREMPUAN AMAN dan HuMa ingin menempatkan hak kolektif perempuan adat masuk dalam RUU Masyarakat Adat. Tapi kami dari PEREMPUAN AMAN ingin memastikan kepentingan dan perspektif perempuan adat diakomodasi secara langsung dalam RUU ini.”

 

KEBIJAKAN PEMAJUAN KEBUDAYAAN : SEBUAH JALAN KELUAR?

Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh perempuan adat ini merupakan bagian dari nilai-nilai budaya. Sejauh apa perlindungan yang diberikan kepada perempuan adat terhadap kekayaan pengetahuan lokal ini? UU Nomor 5 Tahun 207 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah salah satu dasar hukum yang memberikan layanan perlindungan dan pemajuannya. Kebijakan ini memuat 10 (sepuluh) Objek Kebudayaan yang tidak hanya memiliki nilai spiritualitas, namun juga bagaimana berdampak pada pengembangan ekonomi perempuan adat.

Dalam pemaparan yang disampaikan, Kristiati Ariani sebagai Perwakilan dari Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat berujar “KMA sejak 2020 ada layanan advokasi. Layanan advokasi Kepercayaan Tuhan YME dan MA. Kami menerima aduan. Jadi andaikata nanti kelompok ibu-ibu baik di Cerekang maupun di Barito, yang memerlukan layanan bagaimana menegosiasikan dengan stakeholders. Harapannya kami dapat membantu. Yang jadi masalah, kadang perempuan bingung. Kalau ada layanan bagaimana menyampaikannya? Apa yang disampaikan? Misalnya ada Kawasan untuk ritual, ketika ada korporasi masuk, mereka tidak melihat arti tempat tersebut. Hanya dilihat sebagai komoditas besar. Padahal bagi masyarakat adat itu tempat suci. Pihak korporasi tidak melihat hal itu.”

“Layanan ini yang dimaksimalkan dan ditingkatkan oleh KMA. Mulai 2023, kami Dirjen Kebudayaan ada reorganisasi UPT yang berada di tingkat Provinsi berupa Balai Pelestarian Budaya. Pengetahuan tradisional yang tadi ibu lestarikan dapat dicatatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Ketika tadi ada pengetahuan menganyam, bisa dicatatkan di UPT kami. Program itu sebagai upaya kami untuk mendata dan melindungi objek pemajuan kebudayaan” tambahnya.

Pertanyaan kedepannya, siapa yang akan menjadi pengampu atau pemilik dari Warisan Budaya Tak Benda ini? Perlu kita kawal bersama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memberikan posisi tawar yang sama bagi Masyarakat Adat (khususnya perempuan adat) dalam pengelolaan dan pelestarian pengetahuan lokal sebagai objek pemajuan kebudayaan.

 

#hukumuntukrakyat #tanahadalahkehidupan #pengetahuanadalahjiwa

 

Narahubung :

Bimantara Adjie (082136386740)

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.