#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Pemetaan Sistem Hukum dan Pencatatan Hukum di Kasepuhan

Pagi itu di sekitar Taman Topi saya sedang menikmati teh hangat. Guli, staf pemberdayaan masyarakat RMI memberi kabar melalui pesan singkat – rombongan akan terlambat menjemput. Saya pun memesan pancake sebagai teman teh hangat yang sudah ada.

Sekitar pukul 09.30, Avanza putih berisi Guli, Indra, Mahmud, Aji, para staf RMI datang. Mobil itu dikemudikan oleh Kacung. Kami berangkat menuju Desa Cirompang. Di tengah perjalanan, kami menjemput Rojak di Kiarasari. Waktu tempuh dari Bogor adalah sekitar 5-6 jam. Sebagian jalan menuju desa itu sudah beraspal, dan sebagian lainnya masih berbatu. Beberapa ruas jalan sudah diperbaiki pada tahun 2011.

Secara administratif Desa Cirompang merupakan bagian dari Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Batas administratif Desa Cirompang adalah: Barat: Desa Sindang Laya, Kecamatan Sobang (batas alam Sungai Citujah); Utara: Desa Sukaresmi, Kecamatan Sobang (batas alam Sungai Cikiruh, Pasir Pinang, Jalan Raya Cibeas-Cimerak); Timur: Desa Sukamaju, Kecamatan Sobang (batas alam Sungai Cibitung, Pamatang Pasir Pinang, Jalan Saidun); Selatan: Desa Citorek Timur-Tengah-Barat, Kecamatan Cibeber (batas alam Gunung Kendeng membujur dari Barat ke Timur).

Sampai di Desa Cirompang, kami langsung menuju rumah besar. Namun, kolot sedang di sawah. Aneh. Karena sepanjang jalan saya melihat sawah sudah selesai di panen. Malam berikutnya saya baru tahu, beberapa sawah sudah tidak mengikuti jadwal tanam yang ada turun-temurun. Akibatnya, sawah tersebut diserang hama burung. Kata kolot, hama burung tidak mungkin dilawan. Burung-burung itu sudah ada “jadwal” keluarnya. Jadi, mereka yang tidak mengikuti jadwal tanam turun-temurun akan menghadapi hama burung.

Kami lalu mempersiapkan rumah besar untuk pelatihan. Selama dua hari, kami akan mengadakan “pelatihan pendokumentasian aturan lokal” di Kasepuhan Cirompang.

***

Pelatihan ini berpandangan bahwa dalam kenyataannya perilaku dalam penguasaan (baca: tenurial) atas sumber daya hutan oleh masyarakat adat, masih dominan dikendalikan oleh aturan lokal (aturan adat, aturan informal). Menggambarkan aturan lokal untuk menunjukkan sistem keteraturan dalam penguasaan sumber daya hutan, sangat relevan. Namun, pelatihan ini juga berpandangan bahwa sistem keteraturan dalam penguasaan sumber daya hutan dipengaruhi oleh lebih dari satu sistem norma. Aturan lokal bukanlah satu-satunya yang menentukan karena pada saat yang sama, dalam kadar tertentu, aturan formal juga berperan. Berbagai sistem aturan tersebut melangsungkan relasi dinamik yang dapat berakhir dengan konflik ataupun akomodasi.

***

Pelatihan itu dilakukan selama dua hari. Dimulai dari pukul 13.00 hingga menjelang berbuka puasa. Pada hari pertama, pelatihan diisi dengan materi pluralisme hukum dan pengenalan arumono-sagashi. Setelah materi, para peserta pelatihan, yang mayoritas adalah merupakan perempuan mempraktikkan materi tersebut dengan berkeliling kampung.

Arumono-sagashi, terdiri dari dua kata arumono dan sagashi. Secara literal, arti dari arumono adalah sesuatu yang ada/eksis, dan sagashi adalah pencarian atau penggalian. Jika digabungkan, akan berarti penggalian sesuatu yang sebenarnya sudah ada.

Dengan menggunakan kamera ponsel, peserta mendokumentasikan temuannya dan memberikan deskrispi perihal temuannya. Dari berkeliling kampung, peserta pelatihan mendapatkan informasi mengenai penggunaan babay, tali sulaiman, leuit, daun kiray, pohon hanjuang, padi gede, dan informasi lainnya.

Pada hari kedua, para peserta mempresentasikan gambar dan mendeskripsikan gambar yang diperoleh. Fasilitator kemudian mencoba menggali nilai dan hukum yang ada dari gambar yang mereka peroleh. Fasilitator juga mencoba menggali hal lain, sesuatu yang tidak nampak. Syair misalnya.

Setelah presentasi, materi selanjutnya adalah bekerjanya hukum negara dan unsur-unsur pengakuan masyarakat adat yang ada di berbagai peraturan. Dari materi itu peserta berhasil menyimpulkan bahwa masyarakat adat melemah. Hal itu disimpulkan dari tidak bekerjanya hukum adat dan lembaga adat, termasuk peradilan adat.

Kesimpulan itu didapat setelah berbagai gambar yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan unsur: masyarakat, hukum adat, lembaga adat, peradilan adat, dan wilayah adat. Mayoritas gambar berada dalam kelompok unsur masyarakat dan wilayah. Hanya sedikit yang berhasil menggambarkan hukum adat dan lembaga adat. Berdasarkan itu, peserta pelatihan bersepakat untuk melanjutkan pendokumentasian.

***

Matahari sudah tinggi. Kami meninggalkan Kasepuhan Cirompang. Kami beranjak ke Kasepuhan Karang untuk melakukan pelatihan yang sama.

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.