#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

RUMUSAN REKOMENDASI SEMINAR & DIALOG MULTIPIHAK “PERCEPATAN REFORMA AGRARIA di SULAWESI TENGAH”

Tanah bagi satuan-satuan masyarakat hukum adat dan lokal maupun mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada tanah (petani dan petani penggarap)  adalah “aset” yang memegang kendali utama dalam kehidupan mereka. Tanah tidak dilihat  sebagai komoditi semata (hasil produksi yang dapat diperjual-belikan), namun bagi mereka tanah memiliki ikatan lahir batin yang tidak dapat dilepaspisahkan, karena saling ketergantungan maupun karena proses kesejarahan dan proses-proses kultural yang mengikutinya. Menyamakan tanah sebagai aset dengan komoditi akan sama maknanya dengan mengahapus berbagai ikatan struktural dan kebatinan yang berakar dari tanah bagi mereka.

Berbagai persoalan atas tanah kerap terjadi yang kemudian menuntut negara berperan aktif  untuk mencari solusi/jalan keluarnya. Problem utama penguasaan atas tanah, kemudian coba diselesaikan negara melalui rumusan program “REFORMA AGRARIA”, baik melalui redistribusi maupun legalisasi aset yang sudah dikuasai secara turun temurun, yang sejatinya bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan, menangani sengketa dan konflik agraria. Sejumlah langkah konkrit ditempuh kepala daerah Kabupaten Sigi dalam implementasi program ini, namun kendala penerapannya juga nyata terlihat. Demikian halnya dengan kabupaten Poso misalnya yang juga terkendala menerapkan kebijakan Refroma Agraria dengan kehadiran Badan Bank Tanah yang memiliki salah satu kewenangan terkait penyediaan lahan bagi Reforma Agraria.

Silang sengkarut kewenangan yang berdampak signifikan bagi masyarakat hukum adat  To Pekurehua di Lembah Napu Kabupaten Poso serta masyarakat Oloboju dan Pombewe di Kabupaten Sigi ini, dibahas dalam Seminar dan Dialog Multi-pihak Percepatan Reforma Agraria Sulawesi Tengah pada 25 Januari 2024 di Hotel Best Western Palu. Dialog ini dihadiri oleh berbagai narasumber antara lain:

  1. Asisten I Gubernur Sulawesi Tengah, Dr. Fahrudin D. Yambas, mewakili Gubernur Sulawesi Tengah. Poin pembahasan narasumber adalah: masih banyak terjadi tumpang tindih kepemilikan tanah yang merugikan masyarakat, sehingga Reforma Agraria di Sulawesi Tengah perlu segera dilakukan.
  2. Bupati Sigi, Mohammad Irwan Lapatta. Poin pembahasan narasumber adalah: (1) Pemda Sigi sudah sejak lama membangun komitmen untuk reforma agraria dengan membentuk GTRA Sigi dan melaksanakan pemetaan objek TORA secara partisipatif di desa-desa; (2) Pemda bingung kelanjutan Reforma Agraria dengan kehadiran Bank Tanah; (3) Pemda Sigi menyatakan aturan reforma agraria melalui Bank Tanah lebih rumit karena tanah tidak langsung kembali kepada masyarakat, sementara prioritas Pemda adalah Percepatan Reforma Agraria.
  3. Kepala Dinas PMD Kabupaten Poso, Frits Sam Purnama, mewakili Bupati Poso. Poin pembahasan narasumber adalah: (1) Pemda Poso mengakui keberadaan masyarakat secara turun temurun di lahan eks HGU PT Sandabi; (2) Reforma Agraria berupa pengakuan/legalisasi tanah masyarakat perlu segera dilakukan; (3) Kebutuhan masyarakat perlu didahulukan dalam reforma agraria; (4) Hadirnya Bank Tanah membingungkan Pemda karena membuat investasi menjadi urusan pusat, sementara daerah tidak dilibatkan.
  4. Ketua BPD Desa Pombewe, Poin pembahasan narasumber adalah: (1) Masyarakat sejak puluhan tahun menderita dan dimiskinkan karena kehadiran HGU PT Hasfarm, dan berharap setelah HGU PT Hasfarm berakhir, tanah segera kembali ke masyarakat secara komunal melalui reforma agraria; (2) Masyarakat dan Pemda Sigi melalui GTRA Sigi telah menyepakati data subjek dan objek TORA dengan skema pertanian bersama (tanah komunal); (3) Kehadiran Bank Tanah secara tiba-tiba memasang plang di atas tanah masyarakat tidak menghargai cita-cita reforma agraria masyarakat dan pemerintah daerah; (4) Menolak jalur reforma agraria dengan skema Bank Tanah karena tidak ada jaminan tanah bisa kembali ke masyarakat.
  5. Perwakilan Masyarakat Desa Maholo, Kamlis Roncaende. Poin pembahasan narasumber: (1) Tampo Pekurehua bukan tanah kosong karena sudah ada bukti penguasaan tanah masyarakat sejak awal 1900; (2) Masyarakat menderita sejak datangnya HGU, sampai konflik memanas dan terjadi kriminalisasi di awal 2000an, dan berharap tanah segera kembali ke masyarakat setelah HGU habis, dengan mekanisme legalisasi aset melalui reforma agraria; (3) Kehadiran Badan Tanah yang tiba-tiba memasang plang pelarangan pengelolaan lahan dan ancaman pidana di atas tanah masyarakat meresahkan dan dapat memicu konflik agraria.
  6. Perwakilan Badan Bank Tanah, Mahendra Wahyu. Poin pembahasan: (1) Untuk Kabupaten Poso direncanakan 1550 hektar dari 6648 hektar untuk reforma agraria, jumlah ini bukan kewenangan Bank Tanah melainkan sudah ditetapkan oleh ATR/BPN; (2) Untuk Kabupaten Sigi, rencananya untuk reforma agraria; (3) Skema reforma agraria melalui Bank Tanah tidak bisa langsung hak milik, namun diberikan hak pakai dahulu minimal 10 tahun.
  7. Kasubdit Penetapan Potensi Redistribusi Tanah Direktorat Landreform Kementerian ATR/BPN, Slamet Teguh. Narasumber menjelaskan berbagai skema reforma agraria menurut peraturan perundang-undangan.
  8. Perwakilan Kantor Staf Presiden, Mulki Shader. Kantor Staf Presiden berkomitmen untuk menjembatani komunikasi masyarakat dengan ATR/BPN.
  9. Perwakilan Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono. Komnas HAM menyoroti dalam konteks Sigi dan Poso, walaupun Bank Tanah mendapatkan tanah dari eks HGU, namun pemberian HGU ini sendiri sejak awalnya bermasalah karena merampas tanah masyarakat yang mengelola tanah tersebut secara turun temurun.
  • Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Prof. Kurnia Warman. Prof. Kurnia menyoroti untuk konteks Sigi dan Poso, skema reforma agraria yang cocok adalah landreform by leverage, sehingga pendekatannya adalah menggali dan mengakomodasi kondisi penguasaan tanah di masyarakat.

Diskusi ini dihadiri OPD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, Kantor Wilayah BPN Provinsi, Kantor Pertanahan Sigi dan Poso, Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi dan Poso, pemerintah kecamatan, akademisi, LSM, serta pemerintah desa dan warga 9 (sembilan) Desa di Sulteng. Diskusi ini menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

TINGKAT KABUPATEN

PEMDA POSO

  1. Mendorong Penguatan kelembagaan GTRA kabupaten Poso untuk Percepatan Reforma Agraria dengan melibatkan unsur akademisi dan masyarakat sipil;
  2. Mendorong Bupati menyusun Rencana Aksi Daerah untuk Percepatan Reforma Agraria di Kabupaten Poso;
  3. Mendorong GTRA Kabupaten Poso membentuk tim peyelesaian konflik agraria pada tanah-tanah eks HGU PT Sandabi;

PEMDA SIGI

  1. Memastikan konsistensi Bupati menjalankan semua regulasi daerah terkait agenda Reforma Agraria sesuai mandat RPJMD kabupaten Sigi khususnya implementasi TORA untuk pertanian komunal eks HGU Hasfarm;
  2. Penguatan kebijakan Pemda Sigi untuk mendukung TORA Komunal.

TINGKAT PROVINSI

  1. Mendorong Gubernur Sulawesi Tengah untuk merevitalisasi kelembagaan GTRA Provinsi Sulawesi Tengah dengan melibatkan unsur masyarakat sipil (akademisi dan LSM);
  2. Mendorong Pemerintah Provinsi “terlibat aktif” dalam penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan badan bank tanah di kabupaten Sigi dan Poso;
  3. Mendorong Gubernur menyusun Rencana Aksi Daerah untuk Percepatan Reforma Agraria di Sulawesi Tengah.

TINGKAT NASIONAL

A. Kementrian ATR/BPN

  1. Optimalisasi program nasional Reforma Agraria termasuk legalisasi aset, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), terhadap tanah-tanah yang telah dikuasai dan diolah masyarakat dengan itikad baik selama lebih dari 20 tahun, baik atas lahan-lahan yang dikuasai dan diolah secara individual maupun yang dikuasai dan diolah secara komunal.
  2. Memaksimalkan partisipasi masyarakat setempat dalam perencanaan dan penerbitan Hak Pengelolaan Badan Bank Tanah, agar peruntukan tanah sesuai dengan kondisi di masyarakat.

B. Badan Bank Tanah

  1. Tidak menempatkan tanah sebagai “komoditas” semata, tapi menempatkan tanah sebagai “Community Asset” yang mana ikatan emosional dan kultural atas tanah sangat diutamakan;
  2. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten sebagai mandat dari UU Otonomi daerah.

C. Kantor Staf Presiden

  1. Memfasilitasi sinkronisasi kewenangan antara kementrian ATR/BPN dengan Badan Bank Tanah untuk menghindari hambatan pelaksanaan RA di Sulawesi Tengah;
  2. Memprioritaskan hak masyarakat di kabupaten Sigi dan Poso baik individu maupun komunal yang telah menguasai dan mengolah dengan “itikad baik” selama lebih dari 20 tahun tanpa putus-putus;
  3. Melibatkan KOMNAS HAM dalam penanganan dan penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dan Badan Bank Tanah di Sulawesi Tengah.

D. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

  1. Mendorong dilakukannya Inquiry Nasional terkait Konflik Agraria masyarakat dan Badan Bank Tanah;
  2. Melakukan sosialisasi meluas terkait SNP Nomor 7 tentang HAM atas tanah dan sumberdaya alam pada kementrian/lembaga negara yang tugas pokok dan fungsinya berhubungan erat dengan sumberdaya alam;
  3. Memastikan KOMDA HAM Sulawesi Tengah terlibat aktif dalam penanganan dan penyelesaian konflik agraria antara Masyarakat Hukum Adat To Pekurehua di Labupaten Poso dan masyarakat Pombewe serta Oloboju di Kabupaten Sigi dengan pihak Badan Bank Tanah.

Palu, 12 Februari 2024

 

Tim Perumus

AGUNG WIBOWO Perkumpulan HuMa Indonesia
AMRAN TAMBARU Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah (YMP Sulteng)
MARTJE PALIDJAMA Perkumpulan Bantaya
Dr. MHR TAMPUBOLON, SH,MH Pusat Konnsultasi & Bantuan Hukum (PKBH) Universitas Tadulako
Dr. ZAIFUL KAMAL, S.Sos, MSi Pusat Studi Sosiologi & Kebijakan Daerah (PS2KD) Universitas Tadulako

 

Dokumen Rekomendasi dapat diunduh di link berikut : Rekomendasi Seminar RA Sulteng 2024

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.