Pontianak, 21 – 22 April 2014, sekitar 70 orang memadati ruang pertemuan di Grand Cemara Hotel, Pontianak (Senin, 21/4/2014). Mereka adalah para advokat, pegiat NGO, dan akademisi yang sedang membahas inisiasi pembentukan lembaga bantuan hukum di Kalbar. Tingginya tingkat konflik dan kriminalisasi masyarakat adat dan lokal di sektor-sektor sumber daya alam (SDA) menjadi salah satu pendorong inisiasi tersebut.
Acara dimulai dengan sambutan dari Anton (Eksekutif Daerah, Walhi Kalbar) yang menyatakan kebutuhan akan bantuan hukum yang besar, khususnya di Kalimantan Barat dan terkait dengan isu-isu SDA yang semakin menekan masyarakat. Sambutan selanjutnya adalah dari Hadi Suratman Ketua DPC Peradi Pontianak, yang menyatakan saat ini meskipun berdasar UU hanya advokatlah yang berhak melakukan advokasi, namun menjadi pertanyaan apakah negara mampu memfasilitasi kebutuhan akan pembelaan hukum di seluruh Indonesia yang sangat luas. Untuk itulah diperlukan sinergi antara advokat dan gerakan bantuan hukum khususnya di Kalimantan Barat. Pidato dari Peradi ini sekaligus membuka acara workshop dua hari tersebut.
Acara selanjutnya dilanjutkan dengan penandatanganan piagam kesepakatan antara LBBT, SAMPAN, POINT, LPS AIR, Walhi Kalbar, Lingkar Borneo, Kontak Rakyat Borneo dan DPC PERADI Pontianak untuk bekerjasama dalam memberikan bantuan hukum bagi rakyat dalam kasus-kasus konflik SDA.
Setelah rehat kopi beberapa menit, dengan dipimpin oleh Antoni dari LPS AIR agenda workshop dimulai dengan pemaparan Irsyad Thamrin (Ketua DPC Peradi Yogjakarta) tentang sejarah dan dinamika bantuan hukum di Indonesia. Dilanjutkan dengan pemaparan Hermawansyah (Universitas Tanjungpura) tentang Bantuan Hukum ke depan yang ideal , termasuk penggunaan peradilan sebagai alat untuk melakukan perubahan struktural, seperti dalam kasus pengkriminalan Vitalis Andi dan Japin di Ketapang yang menjadi pemicu dibatalkannya pasal-pasal kriminalisasi di dalam UU perkebunan.
Setelah makan siang diskusi dipimpin oleh agustinus agus dari LBBT dengan pemaparan Tandiono Bawor (Perkumpulan Huma) tentang mau dikemanakan Gerakan bantuan Hukum. Bawor menyatakan bahwa bantuan hukum tidak sebatas pada pembelaan namun juga meliputi pendidikan dan pembaharuan hukum. Untuk itulah dia menawarkan gerakan bantuan hukum yang menyeluruh termasuk keberadaan hukum rakyat sebagai bahan dasar bagi terciptanya sistem hukum baru Indonesia baru. Pembicara selanjutnya Sulistiono advokat senior dan anggota Pilnet memaparkan pengalaman dan dinamika gerakan bantuan hukum di Kalimantan Barat, termasuk advokasi dari kasus pengkrimanalan masyarakat adat yang dikembangkan oleh para pegiat bantuan hukum di kalbar menjadi kasus internasional dengan dilaporkannya kasus ini ke komisi CERD. Pemaparan sesi ini ditutup oleh Nurkholish Hidayat (Advisor AIPJ) yang menyampaikan dinamika kebijakan bantuan hukum dan isu akses to justice di Indonesia dan ranah internasional. Pemaparan mantan direktur LBH Jakarta ini diakhiri dengan tantangan kepada peserta apa agenda rakyat untuk pembelaan.
Hari kedua pertemuan (Selasa 22/4) acara yang didukung oleh Perkumpulan Huma ini difasilitasi oleh J.Waluyo. Hujan deras yang mengguyur pontianak tidak menghambat tiga puluh peserta dari kalangan advokat, pegiat NGO, dan akademisi untuk menindaklanjuti out put dari pertemuan sehari sebelumnya. Di sore hari akhirnya berhasil disepakati perlunya dibentuk lembaga bantuan hukum di Kalimantan Barat. Untuk itulah dipilih Ivan Valentina Ageung, Dunasta Yonas,Syahri, Esti, Anthony, dan Rangga sebagai dinamisator. Para dinamisator bertugas dalam satu bulan ke depan untuk menyiapkan aspek isi, teknis, dan hukum pendirian lembaga bantuan hukum ini. Selamat berkarya (Sumber: BTOR Tandiono Bawor Pubraya).
1 Komentar
Tinggalkan Balasan