#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Temu Komunitas dan Multipihak “Sebuah Langkah Awal”

Oleh: Fahmi Alamri

Perjalanan Menuju Dusun Sungkup

Saat matahari pagi masih belum menunjukan cahaya  indahnya, staff HuMa Sandoro Purba dan Fahmi menuju Pontianak, Kalimantan Barat untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Melawi dalam rangka menghadiri pertemuan “Temu Komunitas dan Multipihak”. Acara ini diprakarsai oleh Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), dan dihadiri juga beberapa LSM lokal Kalimantan Barat.

Peserta dalam acara ini, datang dari beberapa perwakilan Komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Barat, yakni; Melawi, Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Kapuas Hulu.

Komunitas perwakilan tersebut, hadir dalam rangka berbagi pengalaman dan informasi terkait dengan situasi, status dan penyelesaian konflik yang ada di masing-masing daerah. Mereka memiliki pengetahuan lokal dan berbagai kendala terkait konflik tenurial di wilayah tinggalnya.

Acara ini berlangsung dari tanggal 1-5 Mei 2014, di Dusun Sungkup, Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Acara ini dibuka dengan upacara penyambutan tamu oleh tuan rumah, yakni Dusun Sungkup. Ritual-ritual adat dilakukan selama proses upacara penyambutan tersebut. Mulai dari pengikatan gelang sebagai simbol persahabatan antara tuan rumah dengan tamu, hingga pemotongan bambu yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk. Selain itu, pemotongan hewan kurban dan tarian adat yang diiringi dengan musik tradisional pun disuguhkan kepada para tamu. Dalam kegiatan penyambutan tamu tersebut, sangat terlihat antusias dan keramahan dari masyarakat setempat, acara tersebut diramaikan oleh seluruh masyarakat Dusun Sungkup.

Setelah ritual adat dalam penyambutan tamu selesai dilakukan, para tamu kemudian diarahkan menuju Rumah Betang untuk melepas penat sejenak dan diberikan pengarahan mengenai lokasi bermalam para tamu. Selama kegiatan berlangsung, para tamu menginap di rumah warga Dusun Sungkup. Keramahan terpancar dari muka pemilik rumah, keramahan tersebut membuat kami merasakan kenyamanan selama bermalam disana.

Hari mulai gelap, waktu telah menunjukan pukul 19.00 WIB, suasana malam menyelimuti Dusun Sungkup ditemani oleh nyanyian-nyanyian merdu suara alam. Suasana tentram tersebut kemudian pecah dengan dipukulnya gong, yang menandakan waktu makan malam telah tiba, dan para peserta diminta untuk menuju rumah betang dan menyantap hidangan makan malam.

Setelah perut mulai terisi oleh makanan, maka acara berlanjut dengan pemberian sambutan oleh Ketua Panitia, Tuan Rumah (Dusun Sungkup) dan pihak LBBT selaku penyelenggara. Berbagi informasi selalu muncul dalam setiap sambutan yang diberikan, karena inti dari pertemuan tersebut adalah untuk berbagi informasi dan pembelajaran. Lepas semua sambutan, maka acara dilanjutkan dengan perkenalan para tamu kepada Masyarakat Dusun Sungkup. Suasana riang menyelimuti sesi perkenalan, tawa riang memenuhi seluruh penjuru rumah batang. Masing-masing tamu memperkenalkan identitas mereka, mulai dari nama, asal, alasan mengikuti acara tersebut,dan  bahkan status hubungan pun menjadi salah satu topik yang paling antusias untuk dibicarakan. Tawa, kegembiraan, dan keakraban mulai terbangun diantara kami para tamu dan masyarakat adat, perkenalan tersebut memecahkan tembok penghalang antara tamu dan tuan rumah, perkenalan tersebut merubah status tamu menjadi kawan.  Hari semakin larut, dan sesi perkenalan pun telah usai, acara kemudian ditutup dengan pemutaran beberapa lagu dayak oleh panitia. Bersamaan dengan itu, satu persatu peserta mulai meninggalkan rumah betang dan mulai mengisitirahatkan tubuh mereka masing-masing.

Keesokan harinya, setelah mengistirahatkan tubuh, kami dibangunkan dengan sinar matahari pagi yang indah ditemani dengan kicauan burung-burung, serta terdengar sayup-sayup suara aliran sungai. Pemandangan indah disuguhkan kepada kami, dengan pohon-pohon yang menjaga dan mengelilingi kami, dan lukisan indah dilangit biru menjadi hadiah bagi mata kami.

Kerasnya suara gong kembali memecah kesunyian pagi itu, gong dipukul sebanyak tiga kali, menandakan acara akan dimulai, dan para tamu beserta masyarakat setempat diminta untuk kembali memasuki rumah betang untuk bersantap pagi dan memulai acara.

Tema kegiatan yang diangkat pada Jum’at 2 Mei 2014 adalah “Saling Belajar dan Saling Menguatkan”, dengan berbagi informasi mengenai sosial, budaya, ancaman, cara berinteraksi dengan alam dan serta perjuangan yang ditempuh untuk menjaga lingkungan adat.

Sesi pertama dalam agenda hari ini adalah “berbagi cerita dari 7 benua”, dimana para perwakilan komunitas masyarakat adat yang berpartisipasi akan berbagi pengalaman dan informasi mereka mengenai hal-hal diatas. Masing-masing perwakilan komunitas daerah bercerita mengenai pengalaman mereka dalam mempertahankan lahan mereka dari perampasan-perampasan tanah yang dilakukan oleh berbagai pihak. Pengalaman masing-masing daerah akan upaya mereka dalam penyelesaian sengketa tanah menghiasi pertemuan pagi itu, dan hal tersebut menjadi penambah semangat bagi masyarakat Dusun Sungkup, bahwa mereka juga bisa memenangkan pertarungan yang memperebutkan hak atas tanah adat mereka.

Sesi berbagi pengalaman tersebut pun ditutup dengan presentasi yang dilakukan oleh perwakilan Dusun Sungkup, yang mana mereka sebagai tuan rumah, menceritakan keluh kesah mereka akan permasalahan yang mereka hadapi dengan Wilayah Taman Nasional. Mereka juga memaparkan bahwa, dahulu sebelum datangnya batas-batas wilayah Taman Nasional, masyarakat bisa dengan leluasa memanfaatkan hasil hutan di wilayah mereka, namun, dengan datangnya batas-batas wilayah taman nasional membuat masyarakat diberikan “cap” pencuri oleh pihak Taman Nasional. Dan parahnya, dengan demikian seakan keberadaan masyarakat tidak dianggap, padahal masyarakat telah ada di wilayah itu jauh sebelum hadirnya Taman Nasional. Dengan peliknya masalah yang mereka hadapi, maka pertemuan Temu Komunitas dan Multipihak ini kemudian dilakukan, untuk menjadi pembelajaran bagi Masyarakat Dusun Sungkup dalam berhadapan dengan Taman Nasional.

Setelah mendengar presentasi yang dilakukan oleh para perwakilan masyrakat, kini dilanjutkan dengan sesi pemberian input dari lembaga-lembaga pendamping. Yang memberi masukan pertama adalah HuMa oleh Sandoro Purba. Sandoro menegaskan bahwa putusan MK No.35 merupakan penegasan akan posisi hutan adat sebagai hutan hak. Kemudian, terkait dengan permasalahan wilayah yang bersinggungan, seharusnya dilakukan inventarisasi terlebih dahulu. “Ketika tapal batas bersinggungan dengan pihak ketiga (masyarakat adat), maka harus dilakukan inventarisasi terlebih dahulu” ujar Sandoro. Bersamaan dengan informasi tersebut diberikan, terlihat sepancar harapan dari mata masyarakat, dimana antusias mereka ketika mendengar  apa yang dipaparkan tersebut mulai meningkat. Bahwa memang masih ada jalan untuk mempertahankan hak ulayat mereka, dan jalan tersebut harus ditempuh apapun resikonya.

Selain lembaga pendamping HuMa, banyak masukan-masukan juga yang diberikan oleh lembaga pendamping lain, seperti Walhi, AMAN, dan DKN, bahkan Camat Menukung pun ikut hadir dan memberikan masukan-masukan kepada masyarakat. Kesemuanya menyerukan hal yang sama, bahwa masyarakat harus tetap kokoh dan solid untuk terus memperjuangkan hak mereka, serta melakukan penguatan-penguatan terhadap wilayah dan kelembagaan adat, serta tetap menyelesaikan masalah yang ada dengan terbuka dan melibatkan seluruh masyarakat, sehingga kepercayaan antar sesama tidak terpecah dan tetap kuat.

Sesi sore itu ditutup dengan pembentukan sebuah Tim yang akan merumuskan hasil dari pertemuan ini untuk kemudian dilimpahkan dalam audiensi kepada Bupati Melawi. Masyarakat sangat semangat ketika hal tersebut diutarakan, bahwa akan ada Tim yang akan membantu mereka untuk dapat melangkah maju kedepan dan menyerang Taman Nasional nanti. Pembentukan rumusan akan dilakukan pada malam hari selepas makan malam, sehingga masyarakat bisa beristirahat sejenak untuk kemudian mengisi amunisi mereka dan menembakan amunisi tersebut dalam goresan-goresan tinta hitam di dalam lapangan putih.

Kegelapan malam mulai kembali menyelimuti Dusun Sungkup, dan suara raungan Gong kembali memecah keheningan, menandakan waktu makan malam telah tiba, dan meminta agar masyarakat kembali menuju rumah betang untuk memulai acara makan malam yang dilanjutkan dengan pembahasan hasil pertemuan.

Setelah kembali terisinya energi, maka acara kembali dilanjutkan dengan pertemuan Tim pembentuk hasil Temu Komunitas, yang dihadiri oleh Lembaga Pendamping, beserta perwakilan komunitas dari berbagai daerah. Seketika suasana mulai memanas, dikarenakan terdapat opsi-opsi yang bermunculan dalam pembentukan hasil tersebut. Beberapa opsi yang bermunculan adalah dibaginya Tim menjadi dua kelompok untuk memudahkan mendapatkan dan menuliskan hasil, namun ada pula opsi yang tidak lagi membagi kedalam dua Tim, tetapi Tim diarahkan untuk langsung membahas seruan bersama sehingga hasilnya akan lebih fokus dan dinilai lebih kuat.

Intrupsi demi intrupsi terus berterbangan dalam ruangan tersebut, banyak yang masih tetap meminta untuk membagi Tim menjadi dua, namun banyak pula yang tetap menginginkan Tim tetap utuh dan membahas satu agenda. Salah satu yang menginginkan untuk membagi Tim menjadi dua kelompok adalah Kepala Dusun Sungkup. “Kalau Tim dibagi dua, hasilnya akan lebih terbentuk, dan salah satu Tim akan fokus untuk membahas apa yang dialami oleh Sungkup, karena ini merupakan pertemuan untuk membantu Sungkup menghadapi Taman Nasional, jika terdapat kelompok ini, maka aspirasi masyarakat Sungkup akan lebih tertampung, dan ini akan fokus langsung kepada Sungkup”, Ujar Kadus Sungkup dalam intrupsi yang dilayangkannya.

Setelah cukup alotnya pembahasan malam itu, akhirnya sebuah cahaya terang mulai terlihat. Telah disepakati bahwa Tim tidak akan dibagi kedalam dua kelompok, dan Tim akan membahas fokus pada satu pembahasan saja. Yang akan dibuat adalah surat yang berisikan Seruan Bersama, didalamnya terdapat tuntutan-tuntutan masyarakat adat dari berbagai daerah (yang hadir dalam acara temu komunitas dan multipihak) kepada Bupati Melawi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di wilayah masyarakat. Dengan disepakatinya pembahasan hal tersebut, maka penulisan tinta hitam mulai dilakukan, dengan tuntutan-tuntutan yang datangnya langsung dari masyarakat. Pertemuan tersebut cukup menyita waktu yang cukup panjang, hingga larut malam. Akhirnya pertemuan tersebut berakhir dengan pembacaan isi dari surat tersebut yang diikuti dengan suara sepakat dari semua masyarakat yang hadir. Dan kesepakatan tersebut sekaligus menutup  acara pada hari itu.

Malam secepat kilat berganti menjadi pagi, suara nyanyian Burung-burung kembali terdengar, matahari  perlahan menyelinap dibalik awan-awan. Segarnya udara pagi perlahan menyentuh kulit, dan membangunkan diri ini dari tidur yang lelap. Agenda pada hari ini adalah melakukan perjalanan menuju Batu Batanam, salah satu lokasi yang sering disinggahi oleh masyarakat adat dayak. Sebelum melakukan perjalanan ke tanah tersebut, pengarahan dilakukan oleh panitia kepada para peserta, dan tak lupa ritual-ritual perlindungan dilakukan oleh Temenggung Siyai kepada para peserta yang akan menuju Batu Batanam.

Dari Dusun Sungkup, kami melakukan perjalanan menggunakan Mobil selama kurang lebih 30 menit untuk tiba di pintu gerbang masuk kedalam hutan menuju Batu Batanam. Selama perjalanan pemandangan indah kembali disuguhkan, hamparan pohon-pohon hijau yang megah dan asri menghiasi perbukitan selama perjalanan, luasnya hamparan pepohonan tersebut memberikan kesegaran pada mata ini, membuat mata ini ingin berlama-lama menatap keindahannya. Bagi ku ini adalah kali pertama melihat pemandangan akan pepohonan yang besar dan megah dan berada didalam wilayah yang sangat besar, sejauh mata memandang hanya pepohonan hijau yang menghiasi mata ini. namun pemandangan indah itu seakan rusak ketika mobil-mobil logging melewati wilayah Taman Nasional. Kami ternyata cukup dekat dengan para perusak lingkungan yang dilindungi oleh jubah-jubah ekonomi negara. Mereka yang menjadi perusak justru diagungkan dan dilindung bahkan dikatakan sebagai penyelamat. Sedangkan Masyarakat yang jelas-jelas hidup bersama dengan alam, justru mereka kecam sebagai perusak dan penghancur lingkungan. Berada dekat dengan Perampok hutan tersebut membuat diri ini tidak terima dan ingin rasanya menghancurkan mereka, namun kuatnya jubah ekonomi yang melekat ditubuh mereka seakan membuat mereka hilang dari pandangan mata ini, dan sulit untuk bisa disentuh.

Namun, rasa kesal itu sirna sesaat ketika kaki ini mulai menginjakan kaki didalam wilayah hutan. Perlahan kami menyusuri hutan tersebut untuk menuju lokasi tujuan kami. Sayup-sayup suara aliran air terdengar di telinga ini, dan seketika aliran sungai mulai terlihat, dan aliran tersebut harus kami sebrangi. Jernihnya air sungai membuat diri ini ingin bermain lebih lama didalamnya, menikmati kesegaran dan kenikmatan dari dalamnya, sesaat segarnya air membuat mata ini terpejam dan menikmati setiap tetes air yang membasahi muka.

Sungai telah dilintasi, tanah kembali kami jajaki, pohon-pohon besar mengikuti dan melindungi kami dari hujan yang turun. Perlahan terdengar suara nyanyian dari penghuni hutan, nyanyian tersebut membuat diri ini tertegum, suara yang tidak pernah terdengar sebelumnya, suara yang hanya bisa didengar ketika berada di hutan buatan, kini suara tersebut kembali terdengar, namun terdengar dari tempat mereka seharusnya, dari tempat mereka berkembangbiak dan tempat tinggal aseli mereka. Suara tersebut sangat indah, namun sayang kami tidak berjumpa dengan penyanyi hutan tersebut, mereka melompat dengan cepat dari batang pohon satu kebatang pohon yang lainnya.

Perjalanan menuju Batu Batanam kami tempuh selama kurang lebih 1jam perjalanan dengan berjalan kaki. Selama perjalanan kami melintasi 6 (Enam) Sungai yang memiliki air jernih nan segar. Setelah melewati sungai terakhir, akhirnya kami sampai di Batu Batanam, meskipun sempat terjadi kesalahan arah hingga akhirnya menyebrangi sungai yang cukup dalam, namun akhirnya kami sampai di Batu Batanam.

Setiba di Batu Batanam, sudah ada beberapa warga Dusun Sungkup yang menyambut kami, mereka tiba terlebih dahulu untuk menyiapkan kebutuhan makan kami semua. Meskipun ditemani rintik hujan yang cukup membasahi tubuh ini selama perjalanan, namun hal itu tidak menurunkan euforia kami dalam menikmati keindahan alam tersebut.

Sebuah tenda kecil didirikan oleh warga Dusun Sungkup, tujuannya agar dapur “dadakan” mereka tidak basah karena hujan. Asap kayu bakar memenuhi dapur tersebut, kebulan-kebulan asap cukup membuat mata ini perih, namun entah mengapa mereka semua sanggup berlama-lama didalam kebulan asap tersebut. dibalik kebulan asap yang cukup menyiksa mata itu, bau sedap mulai menusuk hidung ini. Masakan yang mereka sajikan telah matang seutuhnya. Sekejap dapur tersebut disesaki oleh para peserta yang bergantian mengambil makanan di dalam dapur tenda tersebut. Dan dalam waktu yang tidak lama, semua makanan didalam tenda tersebut habis diserbu oleh kami semua. Dari tenda makanan, kami semua bergantian menuju sungai untuk mencuci piring kami dan menggunakannya untuk wadah menyiduk air sungai dan kemudian kami minum. Pertama melihat hal tersebut, keraguan muncul didalam benak ku, “apakah air tersebut bisa diminum secara langsung?” Tanyaku dengan penuh keraguan didalam hati. Namun, setelah sekali lagi melihat kejernihan air sungai tersebut ku beranikan diri ini untuk meminum air sungai tersebut. Setelah air tersebut melewati tenggorokan ku, nikmat kurasakan, belum pernah kurasakan air dengan rasa yang begitu menyegarkan sebelumnya. Mungkin ini menjadi pengalaman baru bagi diriku, anak kota yang bermain-main di pedalaman hutan. Sungguh pengalaman yang unik yang pernah ku alami.

Selepas menikmati makan dan minum, kami semua menuju lokasi Batu Batanam. Lokasi Batu Batanam berada sedikit keatas dari pinggiran sungai tempat kami bersantap makan siang. Disana terdapat Batu yang ditanam. Menurut warga, lokasi tersebut merupakan lokasi perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah. Dimana lokasi Batu Batanam seakan menjadi pintu masuk yang menghubungkan dua wilayah tersebut. Dan di Batu Batanam juga dijadikan sebagai “simbol” persahabatan antara masyarakat di kedua wilayah. Di Batu Batanam, kami mendengarkan tetua adat Dusun Sungkup, yang nampaknya sedang berkomonikasi dengan arwah para leluhur. Bahasa yang digunakan sangat sulit untuk ku pahami, namun ku coba diri ini untuk tetap bisa mengikuti, meskipun bahasa menjadi kendala.

Usai komunikasi yang dilakukan oleh tetua adat, maka kami mempersiapkan diri kami untuk kembali pulang menuju Dusun Sungkup. Namun, akibat hujan yang cukup deras membuat air sungai mulai meninggi dan sulit untuk disebrangi. Karena air sungai yang tinggi, membuat kami tidak bisa melewati jalur yang sama seperti kami datang tadi, akhirnya dengan arahan dari masyarakat, kami diarahkan untuk memutar, dan menggunakan jalur lain. Jalur tersebut sudah jarang mereka lalui, sehingga mereka harus kembali membuka jalur tersebut agar bisa dilalui.

Berbeda dengan jalur sebelumnya, jalur kali ini cukup memeras habis energi kami, bagaimana tidak, kami harus melewati jalan yang menanjak cukup curam, dan cukup jauh jalan tersebut, sehingga membuat beberapa kawan harus mengistirahatkan kaki mereka karena lelah menanjak. Selain jalur yang cukup menanjak itu, jalur ini juga lebih jauh dibandingkan dengan jalur yang kami lalui sebelumnya. Selama dua jam lamanya kami menyusuri jalur tersebut sebelum akhirnya kami kembali ke jalan perusahaan, dimana kami memarkir kendaraan kami. Selama perjalanan yang cukup melelahkan tersebut, mata ini tetap disuguhi oleh megahnya pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Pohon-pohon besar yang tidak pernah ku jumpai sebelumnya, bahkan pohon-pohon yang hanya ku tau namannya tapi belum pernah melihat wujud aslinya akhirnya ku temui secara langsung.

Setelah seharian menyelusuri wilayah hutan, akhirnya kami kembali pulang menuju Dusun Sungkup. Sesampai disana, telah ada panggung dan suara musik yang menanti kami. Ternyata malam ini kami disuguhkan hiburan musik panggung, mereka menyebutnya dengan Setangkai Bunga. Melihat akan ada hiburan, cukup menyegarkan kaki yang letih ini, kaki yang kami gunakan untuk menyusuri jalan hutan akhirnya bisa kami istirahatkan sejenak. Sesaat setelah membersihkan tubuh ini, ku baringkan tubuh ini seraya mengistirahatkan sejenak. Namun, tubuh yang lelah ini tidak sanggup lagi untuk bergerak, hingga akhirnya tubuh ini terlelap dan tanpa disadari hari telah berganti, dan acara hiburan itu baru saja selesai di pagi hari. Sayang sekali hiburan tersebut tidak bisa ku saksikan, padahal ingin rasanya ku terlena didalam keramaian dan kemeriahan alunan musik tersebut.

Tiba akhirnya kami di penghujung hari, dimana hari tersebut adalah hari terakhir bagi kami para peserta Temu Komunitas dan Multipihak bermalam disana, dan kepergian kami menandakan selesainya acara di Dusun Sungkup. Kepergian kami diiringi oleh warga Dusun Sungkup yang memberikan lambaian-lambaian tangan mereka dalam kepergian kami. Lambaian tersebut juga secara tidak langsung memberikan semua harapan mereka atas permasalahan yang mereka alami atas tanah mereka kepada para peserta temu komunitas. Meskipun pagi itu kami meninggalkan Dusun Sungkup, namun tidak berarti apa yang kami lakukan disana telah usai, bahkan nyatanya hal itu adalah permulaan bagi kami untuk membawa harapan yang dititipkan oleh masyarakat Dusun Sungkup di bahu kami, harapan yang sangat besar untuk dapat membantu mereka menyelesaikan permasalahan hak atas tanah mereka, yang berhadapan dengan batas wilayah taman nasional.

Jalan Masih Panjang

Setalah menghabiskan 3 hari di Dusun Sungkup, untuk mencoba menghimpun kekuatan masyarakat sebelum menghadapi Bupati Melawi, kini perjalanan kami lanjutkan ke Nangapinoh, untuk bermalam disana dan keesokan harinya akan dilakukan audiensi dengan Bupati Melawi terkait hasil pertemuan 3 hari tersebut. Selama berada di Nangapinoh, kami masih tetap melanjutkan diskusi kami dengan masyarakat, untuk mempersiapkan audiensi keesokan harinya. Mulai dari yang sifatnya subtantif hingga yang bersifat teknis.

Kobaran api semangat terpancar dari mata masyarakat, mereka terlihat sangat antusias dengan audiensi besok, karena di audiensi tersebut lah mereka menaruh harapan mereka akan nasib dari tanah mereka. Ruang diskusi yang dipenuhi dengan kobaran semangat tersebut kemudian mulai meredup, seiring dengan beredarnya kabar bahwa Bupati Melawi, Firman Muntaco, tidak bisa menemui masyarakat dalam audiensi karena harus menghadiri acara lain di luar Melawi, dan kabarnya yang akan berhadapan dengan masyarakat adalah Panji, selaku Wakil Bupati Melawi. Masyarakat sangat berharap untuk dapat bertemu langsung dengan Bupati Melawi, karena beliau lah pengambil keputusan. Jika harus diwakilkan, masyarakat merasa enggan, karena nantinya keputusan yang dibuat tetap akan menunggu keputusan dari Bupati, dan tentunya akan ada jeda waktu diantara itu. Sedangkan masyarakat mendesak Bupati Melawi untuk mengambil keputusan secara cepat, karena ditangannya lah nasib Masyarakat Dusun Sungkup berada. Disamping itu, alasan lain masyarakat menginginkan bertemu langsung dengan Bupati dikarenakan masyarakat telah berkali-kali melakukan audiensi dengan pihak Pemda, namun respon yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu, bertemu langsung dengan Bupati menjadi harapan terakhir bagi masyarakat, karena masyarakat akan berhadapan dan mempengaruhi langsung si pengambil keputusan, dan mendesak untuk mengambil keputusan pada hari itu juga, sebagai bukti bahwa memang Pemerintah Daerah akan membantu masyarakat.

Kobaran api semangat yang telah pudar tersebut perlahan mulai bangkit, seiring dengan kabar baru yang berkembang, bahwa audiensi besok, Firman Muntaco selaku Bupati Melawi sendiri lah yang akan menerima langsung audiensi masyarakat. Kabar itu mengembalikan semangat yang telah padam, dan masyarakat terlalut dalam keceriaan. Meskipun belum pasti apa hasilnya, namun setidaknya ini menjadi sebuah langkah awal untuk penyelesaian permasalahan mereka.

Akhirnya hari yang dinanti telah datang, hari puncak dari pertemuan Temu Komunitas dan Multipihak kini ada di depan mata. Matahari pagi menyambut dan memberikan semangatnya kepada kami. Birunya langit menghiasi perjuangan kami, dan putihnya awan memberikan semangat juang pada tubuh ini. kesibukan sudah mulai terasa pagi itu, waktu saat itu menunjukan pukul 07.30 WIB, pembagian tugas secara terperinci mulai dilakukan, dan diskusi-diskusi hangat dari kelompok kecil memenuhi setiap sudut ruangan. Jadwal pertemuan kami dengan Bupati Melawi adalah pukul 13.00 WIB di Kantor Bupati Melawi. Meskipun waktu yang ada masih terbilang cukup lama, namun waktu tersebut kami manfaatkan untuk mempersiapkan amunisi senjata kami, sehingga tembakan yang kami lakukan akan akurat mengenai sasaran.

Persiapan demi persiapan mulai terus dilakukan, tidak lupa dengan persiapan ritual adat. Waktu terus berjalan, tidak terasa waktu menunjukan pukul 11.00 WIB. Amunisi untuk menghadapi Bupati sudah disiapkan secara matang, sekarang saatnya mengisi amunisi yang lain, yaitu perut ini. Makan siang kami lakukan secara bersama, sekaligus kordinasi terakhir sebelum menuju kantor Bupati Melawi. Setelah perut terisi, dan segala persiapan tengah siap, kami memulai perjalanan menuju tempat audiensi kami. Perjalanan kami lakukan dengan serempak menggunakan motor dan mobil. Jarak antara tempat kami bermalam dengan Kantor Bupati tidak terlalu jauh, dan tidak lama kami sudah sampai di Kantor Bupati. Sebelum melakukan audiensi, masyarakat dusun sungkup melakukan ritual adat terlebih dahulu di depan kantor Bupati, tujuannya agar pertemuan ini “diberkati” oleh arwah leluhur mereka, sehingga keberhasilan dapat tercapai.

Ritual adat tersebut memakan waktu hingga 20 menit lamanya, dengan melibatkan beberapa perlengkapan, seperti; ayam hidup, telor, beras, dll. Ritual adat tersebut dilakukan oleh Pak Manan, selakuTemenggung Siyai. Komunikasi antara Pak Manan dengan arwah leluhur menghiasi jalannya ritual tersebut, ritual ini diikuti oleh para peserta Temu Komunitas dan Multipihak secara khidmat.

Bersamaan dengan selesainya ritual tersebut, kami langsung menuju ruang audiensi, untuk memulai acara audiensi dengan Bupati Melawi. Seketika ruangan audiensi tersebut dipenuhi oleh masyarakat, dan tidak lama kemudian Bupati Melawi, Firman Muntaco memasuki ruangan audiensi ditemani oleh beberapa ajudannya. Selain Bupati Melawi, hadir juga Camat Menukung, anggota DPD, serta kepolisian.

Pertemuan tersebut dimulai melalui pembukaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Daerah, lalu dilanjutkan dengan sambutan dari Bupati Melawi. Dalam sambutannya, Bupati Melawi memberikan waktu untuk masyarakat menyampaikan tuntutannya. Tuntutan kemudian dibacakan oleh perwakilan masyarakat, dengan pembacaan Surat Seruan Bersama, setelah pembacaan selesai, kemudian Surat tersebut kemudian diserahkan kepada Bupati Melawi. Salah satu isi dari seruan tersebut adalah meminta Bupati Melawi untuk memberikan surat rekomendasi atas penyelesian permasalahan yang melanda masyarakat, dan surat rekomendasi tersebut diminta oleh masyarakat dapat diberikan hari itu juga kepada masyarakat, bahkan masyarakat juga menyatakan bahwa mereka rela menunggu untuk waktu yang lama sampai surat rekomendasi tersebut diterima masyarakat.

Setelah pemberian surat tersebut, kemudian masyarakat diberikan kesempatan kembali untuk menyampaikan keluh kesah mereka kepada Pemerintah Daerah, dalam hal ini masyarakat diwakili oleh Mijar, dari JAKA. Didalam tuntuannya, Mijar juga kembali menegaskan bahwa masyarakat akan menunggu hasil rekomendasi tersebut. “Kami tidak akan pulang sebelum kami mendapatkan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bapak. Kami akan menuggu sampai malam, bahkan berhari-hari pun akan kami tunggu, kami tidak akan pulang sebelum surat rekomendasi itu kami terima”, ujar Mijar dalam penyampaian tuntuan kepada Bupati Melawi. Pernyataan tersebut disambut dengan riuh oleh masyarakat, sebagai pembenaran bahwa mereka akan menunggu rekomendasi tersebut.

Setelah tuntutan demi tuntutan disampaikan kepada Bupati Melawi, kemudian kini Bupati Melawi memberikan respon. Dalam responnya, Firman mengatakan bahwa dirinya sangat senang jika masyarakatnya langsung menyampaian keluh-kesahnya kepada Pemerintah Daerah, Firman mengapresiasi pertemuan ini. dan untuk kasus yang terjadi antara Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya dengan Masyarakat Dusun Sungkup, Firman langsung membentuk sebuah tim kecil, yang isinya adalah perwakilan dari masyarakat, dan Staff Pemerintah Daerah, untuk merumuskan surat rekomendasi yang diminta oleh masyarakat. “sekarang mari kita bentuk tim perumus surat rekomendasi, saya minta perwakilan dari masyarakat untuk bertemu dan berdiskusi dengan tim perumus kami di ruangan saya, nanti kita buat surat rekomendasi tersebut bersama-sama, setelah jadi, kita bacakan dulu, kalo semua setuju baru saya tanda tangan, kita selesaiin hari ini saja”, Ujar Firman dalam responnya terhadap tuntutan masyarakat. Respon tersebut diterima oleh masyarakat, dan kemudian masyarakat mengutus 8 orang perwakilan untuk menjadi tim perumus rekomendasi, setelah terpilih 8 perwakilan, maka audiensi berhenti sejenak untuk memberikan waktu bagi tim perumus menyusun surat rekomendasi.

Kurang lebih penyusunan surat tersebut disusun selama 3 jam lamanya. Para peserta audiensi kembali menuju ruangan untuk mendengarkan surat rekomendasi yang telah disusun tersebut. Dari 3 jam penyusunan, maka dihasilkan rumusan dengan poin-poin sebagai berikut;

  • Memohon kepada Kementrian Kehutanan untuk mengembalikan batas taman nasional kepada peta partisipatif tahun 1998
  • Sembari menuggu keputusan Menteri Kehutanan, disarankan pihak Taman Nasional tidak melakukan tindakan polisionil  terhadap kegiatan adat di wilayah adat
  • Bupati Melawi menjamin kelangsungan hak masyarakat adat

Tiga point tersebut dibacakan di ruang audiensi, untuk mendengar respon dari masyarakat. Mendengar tiga point tersebut, mayoritas masyarakat menerima dengan sepakat isi dari surat rekomendai tersebut. selanjutnya dengan teriakan kesepakatan dari masyarakat, maka kemudian Surat Rekomendasi tersebut dibawa kembali kedalam ruang Bupati untuk ditandatangi oleh Bupati Melawi. Bersamaan dengan itu, kegembiraan mulai menyelimuti seisi ruangan, masyarakat terlena dengan kegembiraan tersebut. setelah mendapatkan surat rekomendasi yang ditandatangani Bupati, maka audiensi telah resmi selesai, dan kami kembali menuju Km.4, tempat kami bermalam.

Setelah tiba, kami langsung melakukan review atas hasil dari audiensi tersebut. Dengan adanya surat rekomendasi Bupati, tidak kemudian permasalahan ini telah selesai, dan langkah yang ditempuh masyarakat telah selesai. Jalan masih cukup panjang, masyarakat harus berhadapan dengan Kementrian Kehutanan, untuk mengeluarkan Taman Nasioanal dari wilayah adat mereka. Sadar akan hal tersebut, bahwa jalan perjuangan mereka masih panjang, keputusan akhirnya dibuat, bahwa dengan rekomendasi Bupati Melawi ditangan, masyarakat akan mengutus beberapa perwakilan ke Jakarta untuk kemudian menghadap Kementrian Kehutanan dan menyampaikan surat rekomendasi dari Bupati Melawi tersebut.

Keputusan telah dibuat, perjuangan masih panjang, dan akan lebih berat kedepannya. Masyarakat tidak bisa hanya berdiam saja ketika mendapatkan rekomendasi Bupati. Justru dengan rekomendasi tersebut, perjuangan harus terus dilakukan, mungkin ini masih berupa titik awal perjuangan, namun paling tidak, apa yang diperjuangan selama ini kini sedikit memberikan hasil nyata. Setelah ini, lawannya bukan lagi berada pada lingkup daerah, namun lawan mereka adalah lingkup nasional. Perlawanan akan lebih berat, namun bukan berarti tidak akan terealisasikan. Semangat masih terpancar dari wajah masyarakat, kobaran api perjuangan memenuhi tubuh mereka, kini tongkat perjuangan berpindah kepada beberapa perwakilan masyarakat daerah, dan teman-teman lembaga di Nasional. Harapan mereka masih ada, dan perjuangan tersebut akan terus dilakukan hingga akhirnya tanah adat mereka kembali secara utuh kepada masyarakat adat. Dan dengan ini, maka perjalanan Temu Komunitas dan Multipihak berhenti sesaat, dan akan kembali bersambung di tingkat Nasional

~Selesai~

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.