Perkumpulan HuMa, 4 September 2025 – Sejak akhir Agustus, gelombang protes berujung pada tindakan represif aparat dan semakin jelasnya arah negara yang semakin mengutamakan pendekatan militeristik. Aparat menangkap paksa sejumlah aktivis, di antaranya Delpedro dan Mujaffar dari Lokataru Foundation, Syahdan dari Gejayan Memanggil, serta Khariq dari Universitas Riau. Nama-nama ini kemudian telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menghasut demonstrasi anarkis. Menurut laporan LBH–YLBHI, sampai saat ini telah tercatat setidaknya lebih dari 3.000 peserta aksi yang ditangkap dan lebih dari 1.000 orang mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat.
Melihat beberapa hari ke belakang, telah ada 10 korban meninggal di berbagai kota. Affan Kurniawan dilindas mobil taktis Brimob Polda Metro Jaya di Jakarta; Sarinawati, Muhammad Akbar Basri, dan Syaiful tewas dalam insiden pembakaran kantor DPRD di Makassar. Kejadian beruntun ini membuktikan bahwa tidak bisa lagi diterima bahwa tindakan kekerasan beruntun ini terjadi secara “tidak sengaja.” Protes di media sosial serentak mempertanyakan apakah pajak yang mereka bayarkan digunakan dengan tepat atau justru untuk membiayai institusi kepolisian yang merepresi dan membunuh rakyat.
Alih-alih meredam situasi dengan dialog yang responsif, negara memilih untuk membatasi akses informasi, melabeli gerakan protes sebagai makar dan terorisme, bahkan menuding adanya campur tangan pihak asing. Tindakan represif aparat juga seakan diberi insentif lewat wacana kenaikan pangkat.
Kasus penjarahan dan pengrusakan di sejumlah lokasi yang tidak terjangkau justru menimbulkan kecurigaan, karena kemarahan rakyat diframing untuk melegitimasi represi lebih keras. Di sisi lain, gas air mata bahkan ditembakkan ke dalam kampus yang seharusnya menjadi ruang aman. Media arus utama pun berperan membatasi informasi dengan alasan menghindari konten “provokatif,” dan berkontribusi dalam dipersempitnya ruang bersuara. Protes beberapa hari ini menunjukkan bahwa rakyat terus jadi korban, tapi mereka terus berkorban untuk melawan, meski selalu dikorbankan oleh kekuasaan.
Perkumpulan HuMa Indonesia tentu memiliki panggilan yang sama dengan panggilan demonstran, yaitu untuk melakukan pembenahan birokrasi, menuntut kebijakan yang pro rakyat, serta reformasi institusi kepolisian dan militer.
Namun, tuntutan paling mendesak saat ini adalah pembebasan seluruh peserta aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang. Penangkapan paksa dan kriminalisasi aktivis bukan jalan keluar dari krisis, melainkan memperdalam luka kolektif bangsa. Negara harus menunjukkan keberpihakan pada rakyat dengan segera menghentikan kekerasan, melepaskan semua yang ditahan, dan membuka ruang demokrasi yang sehat.
Narahubung: Halim (089612424198)
0 Komentar
Tinggalkan Balasan