Oleh Melly Setyawati (tulisan ini dibuat setelah berdiskusi dengan Andiko, Bernadinus Steni dan Siti Rahma Mary)
Beberapa bulan ini Pulau Padang telah menyedot banyak perhatian publik dan pemerintah. Diawali oleh aksi dari para petani dan aktifis Pulau Padang yang melakukan aksi jahit mulut dengan mendirikan tenda keprihatinan di depan kantor DPRD Propinsi dan DPR di Jakarta, ada sekitar 38 orang yang menjadi peserta aksi jahit mulut di Jakarta. Mereka tergabung ke dalam wadah yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMP3). Aksi jahit mulut tersebut merupakan salah satu bentuk reaksi protes terhadap keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 327 Tahun 2009 (yang selanjutnya disebut dengan SK Menhut 327) yang memberikan perluasan ijin konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 41.205 hektar tanpa melalui proses konsultatif dengan masyarakat. Sebagian besar tanah rakyat yang masuk dalam areal konsesi adalah bagian dari perkebunan dan pemukiman warga yang akan menjadi areal HTI berupa perkebunan akasia, guna memenuhi kebutuhan industri kertas dan bubur kertas yang diproduksi oleh PT RAPP.
Inilah Pulau Padang
Banyak yang mengira Pulau Padang ini masuk menjadi bagian wilayah dari Propinsi Sumatra Barat karena kemiripan penamaannya dengan ibukota propinsi tersebut. Ternyata Pulau Padang masuk di dalam wilayah Propinsi Kepulauan Riau yang menjadi bagian dari kabupaten termuda yakni Kabupaten Kepulauan Meranti, pemekaran wilayah dari Kabupaten Bengkalis sejak tahun 2008. Pulau ini hanya terdiri dari 1 kecamatan, yakni kecamatan Merbau, 14 desa dan 1 kelurahan
Pulau yang mempunyai luas sekitar 110.000 Hektare ini berpenduduk sekitar tiga puluh lima ribuan, yang dihuni dari berbagai etnis diantaranya Melayu, Jawa, Bugis, Minang, Lombok, Batak yang berbaur dengan suku asli “Sakai/Akid”. Hampir tidak ada penyebutan penduduk pendatang atau penduduk asli di masyarakat. Sehingga perkawinan lintas etnis di masyarakat, sudah menjadi hal yang wajar. Pluralitas penduduk Pulau Padang ini dapat mematahkan pendapat pejabat Kementerian Kehutanan yang telah mengatakan Pulau Padang itu “kosong” atau tidak berpenghuni.
Sebagian besar penduduk Pulau Padang bermata pencaharian sebagai pekebun terutama menghasilkan sagu dan karet. Wajar apabila penduduk kemudian merasa gelisah ketika lahan kebun mereka masuk ke dalam areal ijin konsesi PT RAPP . Hal ini tentu berpengaruh besar mengurangi sumber perekonomian dan keberlanjutan penghidupan masyarakat Pulau Padang.
Dalih PT RAPP
PT RAPP merupakan perusahaan terbesar di Indonesia dan terbesar ke-2 di Asia Pasifik, yang dimiliki oleh Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), perusahaan ini mulai dibangun pada tahun 1992 memulai aktifitasnya pada tahun 1995 terutama di Propinsi Riau. Adalah konglomerasi Raja Garuda Mas (RGM) yakni Sukanto Tanoto yang menaungi perusahaan tersebut. PT RAPP selain bergerak dalam industri pengelolaan pulp dan bubur kertas, tetapi juga mempunyai konsesi HTI, sebagai sumber pasokan bahan baku industrinya guna memenuhi kebutuhan produksinya yang besar.
Dengan dalih memenuhi target produksi besar tersebut, PT RAPP memperluas ijin konsesinya. PT RAPP mendapatkan perluasan arealnya secara bertahap (Teguh Yuwono, 2011). Berawal pada tahun 200,3 dua perusahaan mitra PT RAPP menyerahkan arealnya kepada PT RAPP, yakni PT Nusa Prima Manunggal dan PT Selaras Abadi Utama. Dengan demikian PT RAPP kemudian mengajukan perluasan permohonan areal konsesinya melalui surat permohonan Direktur Utama PT. Riau Andalan Pulp and Paper bernomor 50/RAPP/VI/2004 tertanggal 15 Juni 2004, yang kemudian di dukung oleh Surat Dinas Kehutanan Surat Nomor 522.1/PR/0914 tanggal 16 juni 2004.
Mendasarkan pada kedua surat tersebutlah Gubernur mengeluarkan rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan untuk memperkuat permohonan areal konsesi PT RAPP, melalui Surat bernomor Nomor 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 juli 2004 Gubernur Riau mendukung perubahan rekomendasi pembangunan hutan tanaman dari PT. Nusa Prima Manunggal seluas ± 150.920 Ha dan PT. Selaras Abadi Utama seluas ± 64.870 Ha kepada PT. RAPP. Areal konsesi PT Selaras Abadi Utama berada di Pulau Padang. Namun Gubernur menekankan di dalam suratnya (1) Sebelum Menteri Kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, terlebih dahulu mengaddendum keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada PT. RAPP; (2) Terhadap areal non kawasan hutan yang dimohon agar dilakukan perubahan status kawasan menjadi kawasan Hutan Produksi (HP); serta (3) PT. RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain di dalam areal yang dicadangkan.
Bupati Bengkalis mengeluarkan Surat bernomor 522/HUT/820 tertanggal 11 Oktober 2005. Gubernur pun mengeluarkan surat 326/VII/2006 terkait dengan Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HTI di areal tambahan termasuk Kabupaten Bengkalis. Kedua surat ini menjadi salah satu acuan dari keluarnya SK Menhut 327, dengan mengesahkan “penambahan/perluasan”.
Kabupaten |
Perubahan Ke-2 |
Perubahan Ke-3 |
Selisih/Penambahan |
A. KAMPAR |
32.511 Ha |
30.422 Ha |
– 2.089 Ha |
B. SIAK |
37.400 Ha |
52.505 Ha |
15.105 Ha |
C. PELALAWAN |
89.440 Ha |
151.254 Ha |
61.814 Ha |
D. KUANTAN SENGINGI |
75.789 Ha |
74.779 Ha |
1.010 Ha |
E. Kepulauan Meranti |
– Ha |
41.205 Ha |
41.205 Ha |
JUMLAH |
235.140 Ha |
350.165 Ha |
115.025 Ha |
Di harian Riau Pos 15 Februari 2012, PT RAPP menjelaskan areal konsesi kawasan IUPHHK-HTI seluas 41.205 hektar ini yang dijadikan hanya sekitar 27.375 hektar ditambah dengan areal untuk infrastruktur seluas 808 hektar kemudian 2.895 hektar adalah areal tidak produktif. Sedangkan sisa lahan lainnya diperuntukkan bagi kawasan lindung, tanaman unggulan, dan tanaman kehidupan.
PT RAPP versus Masyarakat Pulau Padang, dimana Negara?
Perwakilan masyarakat Pulau Padang sendiri sebenarnya telah melakukan pendekatan persuasif ke pemerintah terkait dengan keganjilan pengeluaran SK Menhut 327 namun sepertinya upaya tersebut belum direspon penuh oleh Pemerintah. Maka kemudian masyarakat menyampaikan secara langsung melalui DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti, DPRD Kabupaten Propinsi Riau sampai dengan DPR .
Surat rekomendasi Gubernur dan Bupati pada tahun 2004 sampai dengan 2006 itu, sebenarnya cacat administrasi karena areal ijin konsesi yang menjadi subyek rekomendasi masih masuk wilayah administratif kabupaten Bengkalis. Sedangkan saat ini Pulau Padang telah masuk ke dalam wilayah pemekaran yakni Kabupaten Kepulauan Meranti. Pemekarannya sendiri baru terlaksana pada 19 Desember 2008 yang kemudian mendapat legitimasi melalui Undang-undang nomor 12 tahun 2009, tanggal 16 Januari 2009.
Perkara lain adalah ijin AMDAL yang digunakan adalah ijin AMDAL yang lama sebelum adanya perubahan/penambahan areal konsesi. AMDAL versi PT RAPP, mengungkapkan kedalaman lahan gambut di Pulau Padang kurang dari 3 meter. Padahal menurut Tim Peneliti yang dikoordinir oleh Oka Karyanto dari Fakultas Kehutanan UGM mengungkapkan kedalaman gambut di Pulau Padang lebih dari 3 meter di pinggir pantai, sedangkan kawasan yang menjauhi pantai justru lebih dari 6,5 meter. Dengan mendasarkan temuan tersebut ini seharusnya wilayah ini masuk ke dalam kategori kawasan lindung. Apabila hutan gambut ditebang dan dialihkan airnya, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka.
Meskipun PT RAPP belum beroperasional di Pulau Padang namun argumentasi ekologis tersebut memperkuat kegelisahan masyarakat Pulau Padang. Karena hampir 30 persen Pulau Padang adalah lahan gambut serta aktifitas PT RAPP nantinya dianggap berpotensi menenggelamkan Pulau Padang. Saat ini saja lahan sudah mulai turun sekitar 1 sampai dengan 1,5 meter. Untuk mengatasi gejolak tersebut pada bulan Oktober 2011 PT RAPP mengupayakan penyelesaian berupa penandatanganan kesepakatan (MoU) dengan 11 Kepala Desa yang disaksikan oleh Bupati Kepulauan Meranti. Namun 3 desa lainnya yakni Desa Melibur, Desa Lukit dan Desa Mengkirau menolak menandatangani nota kesepahaman. Reaksi masyarakat ini sudah bisa mengilustrasikan bahwa proses terbitnya kebijakan perluasan areal telah mengabaikan peran serta masyarakat dalam menyusun kebijakan.
Pentingnya Sistim Audit Perijinan
Kementerian Kehutanan membentuk tim mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Pulau Padang melalui surat bernomor 736/Menhut-II/2011, Tim mediasi memberikan rekomendasi kepada Menteri Kehutanan. Adapun poin pentingnya yakni ijin konsesi HTI PT RAPP tidak dicabut namun harus memenuhi syarat untuk mengeluarkan lahan masyarakat dari areal HTI, pelibatan secara penuh masyarakat dalam menentukan tata batasnya dalam proses tersebut (tata batas partisipatif) dan lahan gambut (dome) yang masuk ke dalam areal konsesi tersebut akan dikeluarkan dan ditetapkan sebagai kawasan lindung. PT RAPP beroperasional sampai terpenuhinya persyaratan tersebut.
Sebab ijin konsesi PT RAPP di Pulau Padang ini akibat ketidakhati-hatian pemerintah dalam pemberian ijin perluasan lahan maka menurut beberapa aktifis lingkungan hidup telah menekankan pentingnya sistim audit perijinan secara menyeluruh dengan tetap mengutamakan kepentingan dan peran serta masyarakat baik di dalam maupun diluar kawasan.
(ditulis berdasarkan berbagai sumber)
0 Komentar
Tinggalkan Balasan