2012 kata penanggalan suku Maya, waktu dunia akan berakhir. Semua berhenti, tidak ada lagi asa yang tersisa. Di Copenhagen pada awal perundingan asa itu masih ada. Sejak perundingan perubahan iklim berjalan terseok-seok, jutaan penduduk bumi berharap Copenhagen menjadi titik balik perdebatan perubahan iklim yang tak kunjung ketemu antara berbagai pihak, terutama antara negara maju dengan negara berkembang. Harapan tersebut diartikulasikan dengan jitu oleh kampanye perubahan iklim di kota ini “Hopenhagen”, plesetan Copenhagen yang mewakili harapan banyak pihak. Harapan tertempel di setiap tempat-tempat strategis, dia menyebar, membuat banyak orang berpikir soal hari esok yang tidak boleh merana dan membuat masa lalu menjadi tak berarti. Harapan memang menjadi penopang di Copenhagen karena sejak lama, bahkan sebelum Bali, kecenderungan politik negosiasi menunjukan asa yang makin retak. Masing-masing negara mementingkan kepentingannya sendiri dan lupa bahwa mereka bertemu untuk kepentingan seluruh bangsa. Paling tidak ada dua target besar yang terus menerus tarik ulur. Pertama, target pengurangan emisi domestik negara maju harus tegas dan mengikat. Laporan IPCC 2007, menyebutkan pemangkasan tersebut paling tidak berkisar antara 25-40 % pada tahun 2020 mengacu pada level emisi di bawah tahun 1990. Tanpa pemangkasan yang signifikan, laju pemanasan…
Baca Selengkapnya : kiamat-itu-datang-dari-kopenhagen
0 Komentar
Tinggalkan Balasan