Tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain juga tanah menjadikan perekat kesatuan bagi seluruh wilayah NKRI. Faktanya, soal pengelolaan sumber daya agraria/telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta menimbulkan berbagai konflik hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Banyaknya kasus pertanahan akibat sengketa dan konflik berpotensi terhadap timbulnya gejolak/kerawanan sosial. Kasus pertanahan tidak dapat dipungkiri dapat menjadi penghambat dalam program pembangunan secara umum, dan pemenuhan akses keadilan terhadap sumber ekonomi masyarakat secara khusus.
“Penyelesaian kasus pertanahan yang dilakukan melalui jalur peradilan kadang kala belum sepenuhnya mampu memenuhi rasa keadilan rakyat karena bersifat win and lose, dimana terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah serta lebih menitikberatkan pada bukti-bukti formal. Sedangkan dalam kasus pertanahan sering kali masyarakat yang berhak atas tanah tidak mempunyai bukti tertulis,” ujar Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI, Hendarman Supandji, dalam seminar bertema, “Tanah Untuk Kesejahteraan, Kemakmuran Rakyat dan Ketahanan Pangan”, di Jakarta, Selasa, 19 Desember 2012.
BPN berkeyakinan mampu menyelesaikan kasus-kasus pertanahan dengan menerapkan alternatif penyelesaian sengketa melalui metode mediasi atau win-win solution, dengan musyawarah untuk mufakat dicari solusi dimana semua pihak yang bersengketa menang dan merasa puas.
“Pada tahun 2012 BPN RI telah menyelesaikan kasus pertanahan sebanyak 4.291 kasus (60%) dari total 7.196 kasus. Selain itu, BPN RI juga membentuk Tim 11 yang bertugas menyelesaikan 38 kasus yang bersifat strategis dan sensitif di seluruh Indonesia,” jelas Hendardji.
Dilandasi semangat reformasi, MPR RI kemudian mengeluarkan Ketetapan Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, arah kebijakan pembaruan agraria yang diatur, seperti melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor.
“BPN sedang melaksanakan harmonisasi, sinkronisasi peraturan pertanahan, Redistribusi Tanah, menertibkan tanah terlantar, pensertifikatan bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia. BPN juga melakukan pengkajian mengenai pengembangan/penguatan kelembagaan pertanahan melalui pengaturan dengan Undang-Undang,” katanya.
BPN berkeyakinan mampu menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis. Dalam rangka pelaksanaan land reform. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang.
“BPN ingin melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat,” tambahnya.
Selaku keynote speaker, Hendardji mengatakan saat ini BPN memiliki beberapa program unggulan yang dinilai mampu menyelesaikan soal sengketa kepemilikan lahan. “Program legalisasi aset merupakan salah satu program strategis dalam rangka menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi P4T secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan land reform,” terangnya. BPN mengklaim program ini selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Secara nasional sampai Desember 2012, BPN menyatakan telah mensertifikatkan sebanyak 45.234.490 bidang tanah (52,72%) dari 85.803.826 bidang tanah. Pada tahun 2012 ditargetkan sertifikasi tanah sebanyak 1.908.283 bidang tanah yang dibiayai PNBP dan bidang yang dibiayai rupiah murni, “Sedangkan untuk tahun 2013 BPN RI mentargetkan akan disertifikatkan sebanyak 1.930.965 bidang tanah yang dibiayai PNBP dan yang dibiayai oleh Pemerintah,” tutupnya.
Selain itu hadir pula politikus sekaligus anggota DPR Komisi II, Budiman Sudjatmiko, yang memaparkan bahwa sebenarnya BPN tak bisa hanya berbentuk badan, agar posisinya kuat harus pula dibuat semacam kementerian yang memiliki posisi tawar lebih kuat. Reforma Agraria tak hanya bisa apabila hanya wacana yg hadir di kalangan masyarakat akar rumput saja, namun wajib pula hadir dari level eksekutif, bahkan presiden.
Hal ini senada dengan pernyataan Bambang Soepijanto, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, yang menyatakan bahwa seringkali pihak yang berkonflik memiliki interpretasi tersendiri atas hak tanah mereka, sehingga diperlukan kewenangan kuat yang lebih represif lagi. [agw]
0 Komentar
Tinggalkan Balasan