Pada 22 April 2013, Siemenpuu Foundation bekerja sama dengan HuMa melaksanakan seminar bertajuk kesiapan masyarakat sipil menyongsong MP3EI dan Forest Tenure Reform, di Puncak Bogor. Agenda ini dilakukan sebab pada Mei 2011, dokumen MP3EI diterbitkan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia. Dokumen ini mengusung tujuan untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan delapan program utama yang terdiri dari duapuluh dua kegiatan ekonomi utama, dengan tiga strategi pelaksanaan yaitu:
- Mengembangkan potensi ekonomi wilayah di enam Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku;
- Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected);
- Memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.
Hendro Sangkoyo sebagai pembicara pertama memaparkan mengenai krisis bukan sebagai daur bisnis, krisis terus memburuk di kepulauan Indonesia jauh sebelum perkenalan bangsa-bangsa eropa melalui jalur perdagangan.
Apakah memang betul fokus kita pada MP3EI, selama 6 semester terakhir, kami menaruh perhatian pada rencana yang sebenarnya belum dapat terbaca masyarakat sipil atau masih ‘gelap’. Di Asia Timur laut, MP3EI, tidak lebih dari fenomena ikut-ikutan dan mengalami distorsi, bahkan dalam judulnya kita menyongsongnya, seolah sebagai reformasi kehutanan.
Pembicaraan jauh lebih mendalam bukan soal baik dan buruknya MP3EI, kita mempertanyakan sikap pikir kita kepada perubahan. Tugas kita mempertanyakan bingkai makna yang harus kita akui selama satu generasi terakhir diusung dengan negara-negara di Utara. Tidak semuanya jelek, tapi untuk mendorong Indonesia maju, barangkali tidak. Itu semangatnya.
Jika dinyatakan secara percakapan biasa, kami ingin merayakan solidaritas yang hilang. Orang di kampung sudah mulai bertanya apa agamamu, kamu orang mana, ini lebih penting dari soal keorganisasian belaka. Untuk itu masyarakat sipil perlu persiapan matang.
Semua Disiplin Pengetahuan Harus Mengritik
Riset bagi kalangan pendidikan, orang-orang biasa, lembaga riset, dan pengurus negara menjadi sumber dari upaya dalam mendorong kita untuk bersikap kritis atas MP3EI. Riset dasar, kemudian bertanya kembali, mempertanyakan bingkai ruang waktu dari modal dan negara untuk bicara mengenai perubahan. Dikatakan dalam tujuan MP3EI bahwa GDP akan naik, itu merupakan lelucon yang tidak lucu dan penghinaan bagi orang biasa. Demikian dituturkan dengan slide presentasi yang memukau dari Hendro Sangkoyo.
Untuk bicara MP3EI di masyarakat desa tidak dapat diterapkan dengan tataran elitis, orang kampung tak mengerti hutan dipakai. Disedot modal keuangan dan dibawa ke wallstreet dst. Hendro menemukan sebuah sebuah cara untuk menuturkan kampung halaman yang bisa menyatukan disiplin sosial dan alam. Ini sudah dia coba di berbagai tempat.
Bagian komplotan yang kita kenal lama, ada organisasi perdagangan dunia, di paris meluncurkan “made in the world” buatan dunia. Setiap negara harus melucuti dirinya dari rejim hukumnya sendiri untuk mengalah pada satu rejim hukum yang membela hukum niaga.
Kita tak bisa lagi bicara APBN/D seolah-olah itu berbeda dengan buku akuntansi perusahaan2 dunia. Kita giat melakukan pelatihan pada teman-teman yang ada di garis depan. Setelah 2008 kami mempelajari dokumen internal IMF, tidak penting negara mengalami kebangkrutan, yang penting aliran uang skala global terus berjalan.
Di tahun 2007, waktu terjadi krisisi, tak ada warning, karena uang masih beredar. Memang tidak ada yang siap dengan kejatuhan walstreet. Yang terjadi di eropa, Finlandia agak jauh dari kerusuhan. Dalam karikatur di Eropa orang sudah sebel, kalau mau ditolong hentikan demokrasi, Jerman dekat dnegan bank eropa dalam konteks menyelamatkan rejim euro. Semua yang taat terhadap hukum, asal jangan bangkrut keuangannya.
Kalau kita mempertanyakan hubungan antara manusia dan alam, MP3EI menjadi penting, tapi kemampuan negara melakukan rencananya sendiri begitu kecil. Bagian dari MP3EI sebelum krisis ekonomi Asia, diungkapkan, rencana jahatnya hampir siap dan datang krisis. Sekarang itu diperbarui lagi.
Melakukan pemindaian skala global, mendorong politik energi sebaiknya jangan digiring sektor suplai. Kita tidak tahu kepentingan siapa. Energi soal turunan. Pada 2003 kami melaporkan ke Berkeley dalam sebuah diskusi besar, tidak adanya kemampuan pengurus publik menentukan harga minyaknya sendiri.
‘Zionisme’ Ala Kehutanan
Paparan kedua tidak kalah seru disampaikan oleh Soedarsono Soedomo mengenai Sistem Tenurial dan kebijakan atas tanah akan mengalami wacana yang serius dalam akses sumber daya alam dan manajemen kontrol atas sumber daya alam tersebut. Permasalahan tersebut akan mengacu atas distribusi, eksekusi dan regulasi atas kekayaan alam. Pengelolaan sumber daya alam dan sistem tenurial akan berkembang seiring dengan kebijakan pemerintahannya. Sistem itu sangat ditentukan oleh kepercayaan dari masyarakatnya yang dalam spektrum politik ekonomi terletak antara sistem pasar dan central planning system.
Secara politik, kita jelas memiliki kebebasan yang luar biasa setelah lebih dari empat dekade pengekangan (satu dekade kiri-tiga dekade kanan). Sebagian besar kebun dimiliki rakyat namun sebagian besar hutan tanaman dimiliki oleh pemodal besar. Hutan Tanaman Rakyat hanyalah pencitraan.
Jika digambarkan dalam diagram ada tarik menarik antar kubu kebebasan politik dengan kontrol politik. Kemudian tarik ulur terdapat pula dalam istilah ekonomi kontrol dan kebebasan ekonomi. Antar dua hal tersebut terjadi hal-hal dilematis dalam pengejewantahannya.
Kebutuhan akan reforma menjadi penting ketika kurang lebih 12% dari kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan telah memenuhi definisi sebagai kawasan hutan. Dalam Pasal 1 Nomor 4 UU 5/1967, kawasan hutan ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh menter ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Dalam Pasal 1 Nomer 3 UU 41/1999, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Ada beberapa langkah kongkret yang dapat diterapkan dalam reforma hutan, pertama memastikan sikap penegak hukum setelah keputusan MK no 45/PUU-IX/2011 terhadap apa yang diklaim sebagai kawasan hutan. Kedua, kawasan hutan produksi sebaiknya dihapuskan. Hutan produksi sebaiknya dipersaingkan dengan penggunaan lahan yang lain.
Selain itu hal yang paling utama adalah pikiran pendidikan tinggi kehutanan. Kebijakan atas reformasi hutan hanya dapat dieksekusi atas kepercayaan masyarakat dan tanggapan bijak dari eksekutif.
Politik ekonomi nasional ternyata memberi ruang yang sangat luas terhadap berbagai penafsiran yang tidak jarang dan saling bertentangan. Dalam pasal 33 ayat 1 perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. Selanjutnya, dalam penjelasan (UUD 45 sebelum diamandemen) dinyatakan “ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang”. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Realitas Hutan Indonesia
Luas hutan produksi mencapai 82, 41 juta ha. Di awal dekade 1990-an sekitar 60, 70 juta ha dari hutan produksi tersebut diizinkan untuk dipungut hasilnya melalui skema hak penguasahaan hutan (HPH) yang kemudian diubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Dengan semakin menyusutnya jumlah HPH atau IUPHHK, maka luas areal hutan produksi yang tidak bertuan semakin meningkat. Kawasan tidak betuan ini memicu kegiatan ilegal.
Dalam bisnis kehutanan terus meningkat. Jumlah IUPHHK sampai 2012 sebanyak 295 unit. Terbitnya Pemenhut P. 58/Menhut-II/2009 yang kemudian diubah menjadi P.14/Menhut-II/2011 semakin meneguhkan kecurigaan adanya inefesiensi yang sebelumnya selalu dibantah oleh pemerintah.
Tantangan social forestry terhadap rimbawan (pemerintah) adalah mengganti konsep traditional tentang pengelolaan profesiona ilmiah dan tentang pengaturan oleh negara dengan asumsi yang lebih radikal bahwa memberikan kendali lebih banyak kepada petani penggarap (peasant) mempunyai peluang lebih tinggi untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Kehutanan di masa depan tidak boleh lagi dikelola dengan hubungan administrasi politik yang berwatak kolonial seperti yang hingga saat ini masih direproduksi.
Perempuan Wajib Ambil Peran
Membaca kritis MP3EI, tidak lengkap apabila perempuan tidak ikut bicara dengan ajakan apa yang harus kita lakukan secara individu dan bagian dari masyarakat. Mia Siscawati sebagai pembicara penutup berbicara dalam perspektif feminisme.
Ada beberapa istilah, misalnya tentang gender. Ada dua hal yang berkaitan dengan gender, gender sebagai pembedaan. Pembedaan sifat, peran, dan fungsi yang dibentuk oleh keluarga besar, klan, dan masyarakat luas, dipengaruhi budaya, agama, sistem politik, dan sebagainya. Pembedaan yang direproduksi secara terus-menerus dan dianggap sebagai kebenaran. Gender selain situasi empririk, juga sebagai alat analisis, untuk membaca kenapa kita masih dikungkung dominasi alam, hukum, dan kapital.
Aspek kesejarahaan mengenai dominasi dan ekstraksi alam, nampaknya telah berlangsung sejak zaman kolonial. Sejak jaman kolonial, datangnya para pedagang Eropa adalah untuk menopang produksi konsumsi tingkat global. Dalam prespektif feminis, dominasi itu memiliki dimensi gender.
Akibat pemiskinan, remaja perempuan, mulai direkrut menjadi pelayan di kafe yang muncul. “Kopi pangku” mengeksploitasi perempuan muda, sebagaian dari mereka adalah korban perdagangan perempuan. Kita bisa mengusulkan kepada BPS, sensus tentang agraria, dampak dari perubahan sistem agraria.
Langkah-langkah alternatif yang dilakukan sekarang ini masih ada dalam dominasi kapital. Jangan-jangan kerja keras kita menjadi bagian dari dominasi tubuh dan pikiran kita, masih ikut melanggenggakan dominasi tersebut.
Atau, sebetulnya langkah alternatif radikal untuk keluar dari kungkungan dominasi. Gerakan perlawanan tingkat akar rumput. Sebagian besar adalah kaum elit, dan laki-laki. Apakah gerakan itu sudah memberikan kontribusi pada eliminasi ketidakadilan gender dan ketimpangan sosial di tingkat komunitas. Apakah anggota komunitas berhasil melepaskan diri terhdap jerat industrialisasi.
Mulai ada gerakan warga yang dipimpin perempuan. Ini adalah gerakan yang mencoba merebut kembali lahan, mencoba lepas dari ketergantungan terhdap bibit, pestisida, pupuk, dan sebagainya. Mereka ingin agar bisa hidup terus maju, memajukan komunitas dari produksi dari tanahnya sendiri.
Gerakan konsumen hijau bisa menjadi salah satu contoh, tapi menjadi anomali. Di perkotaan isu lingkungan menjadi marak. Ini gerakan untuk menyayangi alam atau mempertahankan orang menjadi konsumtif, yang melanggenggakan dominasi alam dan tubuh.
Paparan ketiga pembicara di atas telah membuat kita harus kritis atas kebijakan. Apakah mampu kita mendorong gerakan warga untuk merebut otonomiatas tubuh dan ruang hidupnya? Ini harus selalu menjadi tanda tanya besar bagi kita semua.*** (AGW)
0 Komentar
Tinggalkan Balasan