#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Sarasehan Otonomi Asli Masyarakat Adat

HuMa – Epistema Institute

Tobelo, 20 April 2012

 Pengantar

Salah satu sarasehan yang diadakan dalam rangkaian Kongres AMAN IV di Tobelo, Halmahera Utara adalah tentang Otonomi Asli Masyarakat Adat. Sarasehan ini dikelola oleh HuMa dan Epistema Institute. Tema tentang otonomi masyarakat adat itu tidak berarti hanya membicarakan bagaimana tata cara pengaturan kehidupan masyarakat adat secara internal, tetapi juga membicarakan relasi komunitas masyarakat adat dengan komunitas lainnya dan dengan korporasi serta negara. Otonomi tidak ada untuk dirinya sendiri (internal), tetapi juga dalam kapasitasnya berinteraksi dengan entitas lain (relational). Jadi ketika membicarakan otonomi tidak bisa terlepas dari membicarakan subjektivitas masyarakat adat itu sendiri sebagai kesatuan sosial, politik dan hukum.

Untuk membahas tentang otonomi asli masyarakat adat yang berkaitan pula dengan persoalan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum, maka panel ini diadakan diadakan dalam dua sesi. Sesi pertama yang membahas tentang unit sosial masyarakat adat sebagai subjek hukum dibahas bersama narasumber Yando Zakaria dan Hedar Laudjeng dengan moderator oleh Yance Arizona. Kemudian sesi kedua yang membahas problematika masyarakat adat sebagai subjek hukum dibahas bersama Prof. Tamrin Amal Tomagola dan Sandra Moniaga dengan moderator Noer Fauzi Rahman. Peserta yang hadir dalam sesi sarasehan ini mencapai lebih dari 150 orang yang memperlihatkan antusiasnya untuk terlibat dalam membahas, menanggapi dan mengajukan pertanyaan dari paparan narasumber.

Pembahasan

Di dalam sarasehan ini ada beberapa isu utama yang mengemuka, antara lain: Pertama, tentang situasi perampasan tanah-tanah masyarakat adat. Kenyataannya sampai hari ini masih banyak tanah air masyarakat adat yang dirampas oleh korporasi dan pemerintah. Sebagian dari mereka tersingkir dari tanah, sebagian lagi berjuang mempertahankan serta merebut tanah-tanah leluhur mereka. Aturan hukum yang ada saat ini belum cukup memadai memulihkan hak masyarakat adat atas tanah airnya. Ada 2 masalah hukum utama yang masih relevan diperbincangkan: (1) Soal unit dan status hukum masyarakat adat sebagai subjek hukum: dan (2) Masalah mengadministrasikan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam lainnya.

Kedua, rumusan tentang unit sosial masyarakat adat sebagai subjek hukum. Unit sosial tentang masyarakat adat sebagai subjek hukum perlu diperjelas. Rentangnya dari keluarga, kekerabatan, desa asli, kelompok etnik, sampai dengan kerajaan. Unit sosial yang menjadi anggota AMAN perlu dilihat dalam berbagai unit sosial tersebut. Hal ini penting untuk menentukan siapa sebenarnya yang sedang diperjuangkan. Konstitusi Indonesia menggariskan perbedaan antara kesatuan masyarakat (hukum) adat dengan kerajaan dan kesultanan sebagaimana dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 merujuk kepada kerajaan dan kesultanan. Sedangkan Pasal 18B ayat (2) merujuk kepada kesatuan masyarakat hukum adat. Penentuan tentang unit sosial anggota AMAN dan juga yang menjadi unit sosial sebagai subjek hukum berkaitan dengan hak-hak asal-usul masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam lainnya menjadi salah satu persoalan penting untuk menjadi basis hukum dan basis perjuangan merebut kembali ataupun mempertahankan tanah air masyarakat adat.

Ketiga, kesenjangan realitas struktur sosial masyarakat adat sebagian anggota AMAN dengan visi AMAN yang mendambakan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, bermartabat, adil dan demokratis. Keanggotaan organisasi AMAN harus selektif, hanya masyarakat adat yang sudah teridentifikasi sebagai kelompok/komunitas yang menjaga dan mempertahankan tanah airnya, bukan Kerajaan atau Kesultanan. Masyarakat adat juga ditantang untuk memiliki kemampuan membuktikan eksistensi masyarakat adat melalui kegiatan-kegiatan politik dan ekonomi, selain dengan penguatan formal tentang status masyarakat adat sebagai subjek hukum. Karena, selain sebagai subjek hukum, masyarakat adat juga merupakan subjek sosial, politik dan ekonomi. Demokratisasi dalam struktur internal masyarakat adat juga perlu diperhatikan untuk memberikan hak kepada perempuan dan kelompok marjinal lainnya terlibat dalam perencanaan, pemanfaatan tanah air masyarakat adat.

Keempat, hubungan masyarakat adat dengan desa. Relasi masyarakat adat dengan desa dalam praktiknya muncul dalam berbagai pola. Pengaturan kedepan harusnya memperhatikan keberagaman itu dengan tidak memaksakan satu sistem pemerintahan desa yang sama bagi seluruh wilayah republik. Berkaitan dengan hal ini ada pula perkembangan yang terjadi di daerah tentang berbagai pengalaman interaksi antara masyarakat adat dengan desa. Misalkan dalam model pemerintahan nagari di Sumatra Barat, Lembang di Toraja, Negeri di Maluku, Ohoi di Maluku Tenggara, Kakolotan di Lebak, dll. Hubungan antara kesatuan masyarakat adat dengan desa meski dikaitkan pula dengan mengidentifikasi ulang unit-unit wilayah masyarakat adat anggota AMAN karena ada banyak juga anggota AMAN yang ruang hidupnya adalah merupakan wilayah desa, yang artinya desa bisa menjadi unit subyek hukum bagi masyarakat adat. Namun masih ada pertanyaan yang perlu dibahas lebih jauh, misalkan pertanyaan apakah masyarakat adat bisa menggantikan pemerintahan desa? Apakah masyarakat adat bagian dari struktur pemerintahan atau diluar dari itu?

Kelima, masalah strategi dan tindakan-tindakan cepat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dengan memanfaatkan momentum politik yang ada berkaitan dengan RUU Desa dan RUU PPMA. RUU Desa yang sedang berproses relevan juga untuk mengatur hal-hal  yang berkaitan dengan masyarakat adat. Saat ini proses pembentukan UU Desa akan segera rampung, oleh karena itu AMAN perlu menentukan langkah-langkah taktis, strategis dan cepat untuk merespons RUU Desa. (RUU Desa akan disahkan dalam satu atau dua bulan kedepan). Selain itu langkah yang telah diambil untuk mendorong RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) tetap dikawal dengan memastikan semua komunitas masyarakat adat terlibat dan mengetahui dengan jelas bagaimana isi yang akan diatur serta apa manfaat serta implikasinya bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Perluasan keterlibatan masyarakat adat itu bisa dilakukan dengan konsultasi publik secara luas. Muncul pula ide untuk membentuk Partai Adat sebagai alat perjuangan masyarakat adat serta kementerian negara yang khusus mengurusi masyarakat adat.

Rekomendasi

Sarasehan ini menyampaikan dua jenis rekomendasi yaitu (1) Rekomendasi untuk program kerja AMAN dan (2) Rekomendasi untuk Kongres AMAN. Ada 4 rekomendasi yang disampaikan untuk program kerjam AMAN periode berikutnya, antara lain: Pertama, AMAN perlu menentukan secara tegas unit-unit sosial masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN, karena hal ini akan berimplikasi luas berkaitan dengan basis perjuangan dan basis hukum masyarakat adat sebagai subjek hukum. Panel ini merekomendasikan bahwa unit sosial masyarakat adat tidak termasuk kerajaan dan kesultanan.

Kedua, AMAN perlu segera melakukan verifikasi berkaitan dengan keadaan struktur sosial anggota AMAN berdasarkan visi AMAN tentang masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, bermartabat, adil dan demokratis. Oleh karena itu AMAN perlu membantu komunitas dalam melakukan transformasi internal untuk menunjukan kemampuan masyarakat adat sebagai satuan sosial, ekonomi dan politik.

Ketiga, AMAN perlu melakukan pendidikan hukum bagi anggota masyarakat adat serta pendampingan hukum terhadap masyarakat adat yang mengalami perampasan hak-hak atas tanah. AMAN juga perlu melakukan penguatan peradilan adat untuk penyelesaian konflik tanah dan kekayaan alam lainnya. Upaya ini perlu pula dibarengi dengan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di dalam kelompok masyarakat adat itu sendiri, misalnya dengan memastikan keterlibatan perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya di dalam masyarakat adat.

Keempat, mendokumentasikan proses-proses interaksi dan tranformasi yang dilakukan oleh masyarakat adat. Hal ini berkaitan dengan interaksi masyarakat adat dengan negara, baik dengan desa maupun dengan pemerintahan daerah. Misalnya Nagari di Sumbar, Lembang di Toraja, Negeri di Maluku, Ohoi di Maluku Tenggara, Kakolotan di Lebak, dll. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan pola atau model-model yang bisa diangkat menjadi substansi yang akan diatur di dalam RUU PPHMA.

Kelima, AMAN harus terlibat dengan advokasi RUU Desa dengan beranjak dari substansi yang ada dianggap penting oleh AMAN. Selain itu tetap mengawal pembentukan RUU PPMA di DPR.

Sementara itu, rekomendasi dari sarasehan panel ini yang disampaikan untuk dibahas pada Kongres AMAN ada dua, yaitu: (1) Kongres harus menghasilkan pedoman dan membentuk tim untuk melakukan verifikasi anggota AMAN. Hal ini dibutuhkan untuk menentukan secara akurat unit sosial masyarakat adat yang menjadi basis sosial, politik dan hukum dalam gerakan masyarakat adat dalam lngkup AMAN; dan (2) Kongres perlu merekomendasikan agar AMAN harus segera ikut intervensi dalam berbagai proses legislasi yang berkaitan dengan RUU Desa dan RUU PPHMA untuk memastikan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum dan aturan-aturan pelengkapnya untuk mengadministrasikan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Upaya ini juga dilakukan untuk mendalami substansi serta implikasinya bagi perjuangan hak-hak masyarakat adat.*** 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.