#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Sugeng Ambal Warsa Prof Maria

Pada Sabtu 27 Mei 2023, HuMa menghadiri kegiatan “Peluncuran Buku Peringatan Ulang Tahun ke-80 Prof. Maria S.W Sumardjono” di Fakultas Hukum UGM. Peluncuran buku diadakan dalam rangka memperingati ulang tahun Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., MCL., MPA. ke-80 tahun. Buku ini berjudul “Menelusuri Pemikiran Hukum Agraria Prof. Maria S.W Sumardjono.” Rikardo Simarmata selaku tim dalam pembuatan buku menyatakan bahwa terdapat 36 penulis. “ini kado dari kami semua, tanda cinta, tanda respect kami, semoga buku ini menambah sehat dan menambah umur panjang ibu” tuturnya.

Salah satu penulis, Myrna Safitri menyampaikan pemikiran Prof Maria dalam perlindungan masyarakat terhadap tanahnya di kawasan hutan. Menurutnya, pertama, penguasaan tanah di kawasan hutan, ini terjadi karena ada asumsi bahwa (hutan) bersih dari penguasaan masyarakat. Pembentukan kawasan hutan mulai dari penunjukan, penataan batas, penetapan, semua sudah selesai. Banyak kawasan hutan yang statusnya masih penunjukan.

Artinya proses-proses penyelesaian tanah belum secara sempurna dilakukan. Ini lah konflik sengketa tanah di kawasan hutan itu muncul. Lantas bagaimana upaya penyelesaiannya?” ucap Myrna sapaan akrabnya, melalui forum zoom.

Myrna yang juga sebagai Anggota HuMa, menceritakan sekitar tahun 2014, dirinya bersama Prof Maria berupaya menyelesaikan persoalan konflik tanah di kawasan hutan. Perjuangan itu kemudian lahir Peraturan Bersama Menteri kehutanan, Pekerjaan Umum dan Kepala BPN. Tujuannya untuk menjawab bagaimana menyelesaikan mekanisme tanah dalam kawasan hutan. Dalam perjalanannya, Peraturan Bersama ini kemudian diganti dengan Perpres 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Rintisan-rintisan itu bisa diperkuat dan diperluas sehingga kita mempunyai satu kawasan hutan yang betul-betul memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada warga masyarakat.”

Selanjutnya, Myrna menganggap, ada asumsi terhadap tanah-tanah itu diberikan hak atas tanah, maka persoalan lingkungan dianggap terancam. Masyarakat mempunyai kelulasaan untuk memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keinginannya. “Kita lupa bahwa UUPA itu bukan UU antroposentik yang hanya hanya bicara soal masyarakat dan keadilan saja. Pasal 15 UUPA, menunjukan tidak antroposentik, UUPA juga pro terhadap lingkungan. Pandangan ekosentrisme itu muncul di dalam pasal tersebut” bantahnya.

Penulis lain, Prof. Kurnia Warman, menyampaikan apa yang sudah ditulisnya mengenai Pluralisme Hukum Pertanahan di Indonesia. Menurutnya, Pluralisme Hukum muncul sejak adanya negara. Sebelumnya, setiap orang sudah hidup dengan hukumnya masing-masing. Saat bernegara, terdapat membentuk peraturan perundang-undangan yang berangkat dar keberagaman latar belakang orang-orangnya.

Menurutnya, tidak cukup hanya mengatakan perbedaan-perbedaan, tetapi bagaimana caranya kita membangun sistem hukum Indonesia yang satu dari yang beragam itu.

Dalam konteks Pluralisme Hukum pertanahan di Indonesia, Prof Kurnia menyatakan ada keberhasilan dalam membentuk hukum agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini tercermin dalam pasal 5 UUPA,

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Prof. Kurnia berpandangan, hukum agraria yang berdasarkan UUPA, tidak ingin menggantikan hukum adat yang ada. Seseorang yang bersengketa tanah di Indonesia tidak bisa merujuk UUPA karena tidak ditunjukan kepada siapa tanah diwariskan. Dia menambahkan, pertama, pluralisme hukum pertanahan di Indonesia, itu dibungkus dengan hukum agraria yang menyatakan hukum adat sebagai hukum positif tidak tertulis. Kedua, hukum adat sebagai sumber pembangunan hukum agraria itu sendiri.

Bagaimana caranya mewujudkan itu?, tanya Prof. Kurnia. Dirinya menuliskan poin penting dalam tulisan di buku; Pendaftaran tanah tidak menghapuskan pluralisme hukum. Namun, terdapat hambatan Indonesia belum mampu melakukan pendaftaran tanah. Menurutnya, tidak mempunya sistem pendaftaran tanah Indonesia merangkum tanah-tanah adat untuk masuk dalam sistem administrasi pertanahan Indonesia.

Karena pendaftaran tanah itu tidak membuat tanah itu beralih. Kalo tanahnya milik kaum di Sumatra barat, masuk dia ke dalam buku tanah tetap milik kaum dia. Kalo ternyata menjadi milik pribadi berarti berubah, kalo berubah mereka tidak mau” tuturnya.

Prof. Kurnia bercerita, adanya ketakutan dari masyarakat dalam mendaftarkan tanahnya. Saat mendaftarkan tanah kemudian diberi sertifikat, maka beralih statusnya sehingga tidak lagi punya kuasa atas tanahnya. Ada kekhawatiran akan dijual oleh anggotanya kapada yang lain. Karena dianggapnya tanah yang sudah didaftar statusnya beralih dari penguasaan adat. selanjutnya, kalo tanahnya sudah terdaftar maka ada beban-beban pajak yang harus ditanggung.

Saya berpesan bahwa sistem administrasi pertanahan Indonesia itu harus kita kampanyekan kepada masyarakat tidak membuat seragamnya kepemilikan tanah di Indonesia. Ada proses pendaftaran tanah penatausahaan tanah ulayat, itu adalah tantangan terbesar hari ini kenapa karena kalo semua tanah ulayat masuk ke dalam buku tanah, tahun 2025 pendaftaran tanah lengkap itu bisa diwujudkan” tutupnya.

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.