#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Menanti Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Pengaturan tentang tanah ulayat sama sekali belum optimal, karena belum ada data komprehensif tentang keberadaan tanah ulayat, dan belum ada tata cara untuk menentukan tanah ulayat” Iskandar Syah selaku Direktur Pengaturan Tanah Komunal, Hubungan Kelembagaan dan PPAT, Kementerian ATR/BPN.

 

huma.or.id- Masyarakat Hukum Adat (MHA) kerap kali menghadapi perampasan sumberdaya alam dan wilayah adat miliknya. Salah satu penyebab, karena ketentuan pengakuan bersyarat yang memberatkan dan sarat politis di tingkat daerah. Hal ini berdampak pada lemahnya pengakuan wilayah adat sehingga terjadi tumpang tindih dengan izin konsesi di dalamnya. Isu ini mengkerucut pada status kepastian hukum dan perlindungan hak bagi Masyarakat adat di Indonesia.

Permasalahan Masyarakat Hukum Adat dibahas dalam Webinar GTRA Summit 2023 mengenai isu MHA yang mengangkat tema “Mewujudkan Kepastian Hukum dan Pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat” melalui virtual zoom, pada 7 Agustus 2023. Penyelenggaraan Webinar merupakan rangkaian dari puncak acara GTRA Summit 2023 di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 – 30 Agustus 2023.

Raja Juli Antoni selaku Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkap, landasan konstitusional untuk mengakui eksistensi masyarakat hukum adat sudah lebih dari cukup.

Namun, “saya kira di peraturan turunan dan operasionalisasinya banyak conflict of interest, yang mengakibatkan nilai-nilai normatif yang ideal sebagaimana yang tercantum dalam konstitusional itu tidak bisa dioperasionalisasikan atau diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat secara konkrit.” Kata Raja Juli saat menyampaikan keynote speech dalam kegiatan salah satu Webinar GTRA Summit 2023, pada 7 Agustus 2023.

Masnaidi salah satu pembicara webinar dari Masyarakat Hukum Adat Malalo Tigo Jurai menjelaskan tantangan MHA di atas tanah ulayatnya. Ada tiga tantangan besar yakni terdapat klaim pemerintah terhadap kawasan-kawasan hutan milik MHA seluas ± 10.000 hektare menjadi hutan lindung, praktik mafia tanah yang mensertifikatkan tanah ulayah milik MHA Malalo Tigo Jurai seluas 60 hektare.

Sudah terbit 23 persil sertifikat atas nama orang lain yang bukan warga Malalo Tigo Jurai. Saat masyarakat konfirmasi, terdapat 100 hektare dalam proses penerbitan sertifikatnya sudah selesai, tapi belum ditandatangani oleh Kantah BPN Kabupaten Tanah Datar.

Ini menjadi persoalan, kenapa tiba-tiba ada sertifikat di atas tanah ulayat kita” tutur Masnaidi.

Permasalahan lain terdapat perampasan perluasan wilayah administratif, yang berkaitan dengan daerah bersepadan. “Ini menjadi konflik tersendiri bagi kita sejak 2021 lalu” kata Masnaidi.

Masnaidi melanjutkan, permasalahan kriminalisasi juga pernah menimpa salah seorang warga dari Masyarakat Hukum Adat Malalo Tigo Jurai. Akibat lemahnya pengakuan tanah ulayat. Pada 17 Januari 2020, terjadi bencana galodo atau banjir bandang di Malalo. Ada salah seorang warga bernama Farida yang menjadi korban. Farida mendapatkan bantuan Pemerintah melalui CSR Bank Mandiri, Semen Padang, dan lain-lain.

Awalnya Farida tidak menempati areal yang masuk zona merah bencana alam, tetapi dia tidak punya lahan lagi kecuali lahan yang akan dibangunnya. Setelah itu dia minta izin kepada ninik mamak dan kaumnya, akhirnya disepakati dan dia diizinkan untuk membangun rumah di Panduang, yaitu daerah yang nanti menjadi wilayah konflik. Pada 24 Juli 2020, Farida membangun rumahnya.

Pada 5 Agustus 2020, setelah rumah selesai dibangun, tiba-tiba datang beberapa orang berpakaian sekuriti yang mengaku perwakilan investor selaku pemilik tanah, mengusir Farida agar meninggalkan lokasi 1×24 jam. Apabila tidak dilakukan, Farida akan dilaporkan ke Polisi. Selanjutnya Farida memang dilaporkan ke Polisi, dan dia dipanggil ke Polda Sumbar untuk diproses secara hukum. Orang yang mengaku perwakilan investor itu memperlihatkan sertifikat yang terbitnya tanggal 13 Januari 2020.

Sementara proses kita sudah lama, sertifikatnya baru saja terbit. Kita mengadvokasi kasus Farida, dan kita dampingi bersama-sama masyarakat, alhamdulillah, Farida tidak dihukum. Pada 18 September 2020, Farida dipanggil beberapa kali.”

Regulasi Penatausahaan Tanah Ulayat yang Belum Pasti

Permasalahan tanah ulayat tidak lepas dari sulitnya implementasi ketentuan yang ada. Iskandar Syah selaku Direktur Pengaturan Tanah Komunal, Hubungan Kelembagaan dan PPAT, Kementerian ATR/BPN mengatakan, “Pengaturan tentang tanah ulayat sama sekali belum optimal, karena belum ada data komprehensif tentang keberadaan tanah ulayat, dan belum ada tata cara untuk menentukan tanah ulayat.”

Iskandar menambahkan, dari tahun 2019 sampai sekarang, kami telah melakukan beberapa kegiatan inventarisasi dan identifikasi terhadap potensi-potensi tanah ulayat, dan beberapa kegiatan lainnya agar kita bisa memetakan seperti apa masyarakat hukum adat di daerah dengan batas bidang tanahnya.

Kementerian kami mempunyai target nasional di 2025 untuk mendaftarkan seluruh bidang tanah di Indonesia. Sehingga tidak hanya tanah hak dan tanah negara, tetapi tanah ulayat juga kita harap bisa bersamaan kita coba lakukan pendaftarannya.”

Kegiatan invetarisasi dan identifikasi tanah ulayat bekerjasama dengan beberapa universitas, kata Iskandar. Universitas seperti Universitas Andalas, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara, Universitas Gadjah Mada, Universitas Cenderawasih, dan beberapa unversitas lainnya. Kegiatan mulai dari provinsi seperti Bali, NTT, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Papua, dan Papua Barat, dan sebagainya.

Apabila itu dapat diterbitkan HPL, maka kita bisa lakukan penerbitan HPL terhadap tanah ulayat tersebut.”

Iskandar menginformasikan, saat ini sedang dilakukan revisi terhadap ketentuan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tentang?,. Menurutnya terdapat beberapa perubahan antara lain, Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 hanya mengatur satu subjek, yaitu kesatuan masyarakat hukum adat. Di draf revisi terdapat dua subjek hak, yaitu kesatuan masyarakat hukum adat dan anggota masyarakat hukum adat. Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 hanya mengatur satu objek, yaitu tanah ulayat. Di draf revisi terdapat dua objek hak, yaitu tanah ulayat dan tanah komunal.

Kemudian, Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tidak mengatur mengenai tanggung jawab penyelenggaraan administrasi pertanahan untuk mewujudkan pendaftaran tanah lengkap, sedangkan di draf revisi kita coba lakukan itu. Di draf revisi ada penyesuaian ruang lingkup Rapermen meliputi pelaksanaan penguasaan tanah ulayat dan tanah komunal, tata cara inventarisasi dan identifikasi, serta tata cara penatausahaannya dan pendaftaran tanahnya.

Ini yang berusaha kita lakukan untuk penyempurnaan terhadap Permen yang ada dan beberapa Permen terdahulu yang sudah dicabut.”

Tanggapan serupa disampaikan oleh Kurnia Warman selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas. Secara teori, tanah masuk dalam benda tetap atau benda tidak bergerak. Dalam hal ini, kepemilikan tanah mumbutuhkan hak. Artinya, memerlukan adanya publisitas atau publik mengakui bahwa kepemilikan atas tanah itu adalah milik seseorang.

Kurnia melanjutkan, kalau dulu sebelum terhubung dengan negara, mungkin publiknya itu cukup hanya wilayah adat. Semua orang dalam wilayah adat tahu, maka sudah terjadi publisitas. Tetapi karena masyarakat hukum adat sudah tersambung dengan negara, dan publiknya itu sudah lintas wilayah adat, maka publisitas yang hanya diketahui oleh warga di dalam wilayah adat saja tidak cukup untuk memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah secara adat dalam wilayah adat.

Maka perlu pendaftaran. Pendaftaran tanah ini lah yang memberikan kepastian hukum kepada status kepemilikan tanah, termasuk tanah-tanah ulayat, tanah milik komunal, atau tanah yang dimiliki secara adat.”

Kurnia menyebut, kasus yang disampaikan oleh Pak Masnaidi di Malalo Tigo Jurai itu mungkin tidak akan terjadi, kalau tanah ulayat nagari Malalo Tigo Jurai itu terdaftar/tercatat. Orang lain tahu kalau itu tanah ulayat Malalo Tigo Jurai sehingga BPN mencatat bahwa itu adalah ulayat nagari Malalo Tigo, dan tidak mungkin didaftarkan lagi atas nama orang lain.

Tetapi karena tidak ada pencatatan dan yang tahu hanya orang dari nagari yang bersangkutan, orang-orang lain tidak tahu, BPN tidak tahu, pemerintah tidak tahu, maka itu berisiko kerugian pada masyarakat.”

Selanjutnya, Kurnia menjelaskan perihal tiga entitas tanah yang wajid terdaftar di dalam Undang-Undang Pokok Agraria yaitu, tanah hak, tanah negara dan tanah ulayat. “Sementara ini tanah ulayat belum menjadi objek. Oleh karena itu dia tidak bisa lengkap, kalau ini tidak diurus.” Kata Kurnia Warman yang juga sebagai Anggota HuMa pada sesi Webinar.

Kurnia menyebut, setidak-tidaknya ada dua hal yang membuat Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 itu tidak cukup punya akselerasi untuk mendukung menuntaskan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Pertama, Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 itu menempatkan Pemerintah pada posisi pasif. Kenapa? Karena Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 masih berasumsi bahwa kesatuan masyarakat hukum adat kita itu adalah orang yang menyadari dan butuh adanya pendaftaran tanah dan butuh bukti hak. Dengan demikian diasumsikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat akan datang ke kantor pertanahan, akan mengajukan permohonan, dan akan menunggu permohonan itu, baru diukur, dipetakan, dan dimasukkan ke dalam daftar tanah.

Dalam praktiknya di lapangan, masyarakat hukum adat kita itu belum menyadari arti pentingnya dia terdaftar, belum menyadari apa implikasinya, dan mungkin sebagian besar belum terbangun kesadaran hukumnya. Kalau metode Pemerintah yang pasif itu yang dilakukan, maka target 2025 itu tidak akan tercapai. Oleh karena itu Permen ATR/BPN ini harus membuat Pemerintah menjadi aktif.”

Kedua, persyaratannya berat, lanjut Kurnia. Kenapa? Karena tidak ada ketegasan tentang pengecualian dari beban pajak, dan sebagainya. Bagi masyarakat yang menyadari bahwa sertifikat itu penting juga tidak mau, karena takut dengan beban pajak yang tinggi, takut dengan sengketa-sengketa pewarisan, takut akan dijual, dan sebagainya.

Hambatan-hambatan itu belum diantisipasi oleh Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019.”

Ketiga, Kurnia menjelaskan perihal adanya anggapan bahwa tanah adat yang telah terdaftar boleh dijual dan sebagainya. Hal itu menjadi kekhawatiran Masyarakat hukum adat terhadap pendaftaran tanah.

Kementerian ATR/BPN, kantor pertanahan, dan kita bersama, perlu mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan menjual tanah itu tidak tergantung kepada sertifikat. Penjualan tanah itu sudah terjadi sebelum tanahnya didaftarkan. Jadi perilaku menjual tanah itu tidak dipicu oleh adanya sertifikat, tetapi justru sebaliknya, bahwa orang yang mau menjual tanah akan mendaftarkan dulu tanahnya. Oleh karena itu, bersertifikat atau tidak tanah, terdaftar atau tidak tanah, kalau pemiliknya ingin menjual ya dijual juga tanahnya.”

Kurnia menghimbau agar salah satu materi sosialisasi dari Kementerian ATR/BPN dan kita semua yang ada di forum ini, untuk bersama-sama meluruskan kepada masyarakat bahwa jangan menuduh sertifikat sebagai mempermudah, tetapi sertifikat itu dijadikan untuk membuat tinggi harganya.

Jadi bukan pendaftaran tanah yang mendorong orang menjual tanah, tetapi dia ingin menjual, lalu didaftarkan dulu tanahnya.”

Terakhir, Kurnia menyampaikan pendaftaran tanah ulayat dan tanah komunal itu sejalan dengan semangat reforma agraria sebagaimana di dalam Perpres Reforma Agraria, khususnya di wilayah adat. Reforma agrarianya sebagai asset reform. Kenapa asset reform? Karena access reformnya itu sudah terjadi secara empiris.

Negara tidak perlu mendorong masyarakat adat untuk turun ke lapangan sebagai bagian dari subjek TORA, karena mereka sudah ada di situ, melainkan tinggal kita kuatkan saja asetnya secara hukum, tinggal kita berikan dia kepastian hukum secara yuridis atas tanah-tanah adat yang sudah dimilikinya secara bersama-sama, sehingga itu menjadi bagian dari reforma agraria.”

Oleh karena itu penuntasan pendaftaran tanah ulayat dan tanah komunal juga merupakan penuntasan program reforma agraria di wilayah adat.”

Menurut Kurnia, jika dihubungkan dengan Perpres Reforma Agraria, hal ini juga sejalan atau dapat juga disebut sebagai legalisasi aset. Jadi negara tidak memberikan hak kepada masyarakat hukum adat. Kenapa? Karena hak itu sudah mereka miliki secara adat, negara cukup melegalisasi asetnya saja.

Dengan terlegalisasinya atau terdaftarnya tanah ulayat dan tanah komunal itu, maka tuntas lah reforma agraria di wilayah adat.”

Penulis:

Wahidul Halim

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.