Een Suryani dari Kasepuhan Karang, Lebak, Banten, menyampaikan kesaksiannya dalam forum Seminar dan Lokakarya dengan tema “Slamet dan Hutannya sebagai Identitas Budaya Masyarakat” pada 21-22 Juni 2025 di Gedung Putih, Kebun Raya, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah.
Sumber Foto: Panitia Seminar dan Lokakarya “Slamet dan Hutannya sebagai Identitas Budaya Masyarakat”
huma.or.id – Mengutip berita humas.jatengprov.go.id (24/04/2025), Ahmad Luthfi selaku Gubernur Jawa Tengah telah mengirim surat permohonan untuk penetapan Taman Nasional Gunung Slamet ke Kementrian Kehutanan. Hal ini sebagai bagian dari salah satu upaya konservasi lingkungan di kawasan tersebut, katanya. Luthfi mengeluarkan Surat Nomor B/500.4/0005190 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Slamet tertanggal 28 Mei 2025.
Surat Luthfi ke Kementrian Kehutanan masih menimbulkan ragam pertanyaan. Sejumlah aktivis, organisasi non-pemerintah dan mahasiswa pecinta alam meresponnya. Mereka merasa perlu melihat ulang alasan-alasan dalam surat tersebut. Juga, membandingkan praktik yang sudah terjadi. Akibat dampak penetapan taman nasional.
Seperti pengalaman Een Suryani berhadapan dengan taman nasional. Seorang Perempuan Adat dari Kasepuhan Karang, Lebak, Banten menyampaikan kesaksiannya dalam forum Seminar dan Lokakarya dengan tema “Slamet dan Hutannya sebagai Identitas Budaya Masyarakat” pada 21-22 Juni 2025 di Gedung Putih, Kebun Raya, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah.
Een menjadi salah satu narasumbernya seminar dan lokakarya yang diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa Indonesia bersama Mahasiswa Pecinta Alam, Green Corps, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Semarang, dan Panitia Seminar dan Lokakarya Slamet dan Hutannya sebagai Identitas Budaya Masyarakat, dan aktivis lingkungan.
Wilayah Adat Kasepuhan Karang masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Menurut Een, kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang sangat tergantung dengan hutannya.
“Hutan yang dimaksud bukan seperti hutan biasanya (menurut orang-orang kota). Hutan di dalamnya ada sawah, Perkebunan, perkempungan dan lainnya” kata Een.
Masyarakat Adat Kasepuhan Karang telah mengidentifikasi zonasi lahan kawasan hutan. Mereka menyebut kawasan hutan titipan, tutupan dan garapan. Hal ini masih erat kaitannya dengan kehidupan di sana yang masih kental akan budaya, tradisi dan kearifan lokal yang ada.
Meski demikian, pengelolaan hutannya masih dipengaruhi keberadaan Perum Perhutani. Een mengatakan, saat Masyarakat Adat Kasepuhan Karang menggarap lahan, saat panen harus membayar pancen. “Misal nanam padi maka harus memberikan padi kepada orang mantri Kehutanan.” Padahal menurut Een, masyarakat menggarap lahan milik sendiri, lahan turun temurun orang tuanya.
Seiring pengaruh Perum Perhutani yang masih mencekram. Tepatnya, pada tahun 2003, kawasan hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang masuk dalam wilayah taman nasional. Yakni Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Een sama sekali tidak mengetahui informasi tentang taman nasional. “Kami kekurangan informasi dari pemerintah” tutur Een.
Tidak berselang lama dari Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Een mendengar kabar tidak mengenakan dari kampung sebelahnya. Salah seorang warga justru mengalami pelarangan untuk masuk di lahannya sendiri. Orang tersebut biasanya mengambil kayu sebagai bahan arang untuk dijual ke pasar. Ia tidak mengetahui bahwa lahannya masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Pada kesempatan lain, Een juga mendapati kebun orang-orang rusak. Tanaman kebun milik petani habis semua. Seperti pengrusakan oleh hewan liar di sana. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Een dan masyarakat lainnya pun merasa tidak aman.
Een kemudian berjuang untuk mengembalikan kondisi sediakala. Masyarakat masih memiliki akses ke lahannya. Panen tidak terganggu dan bebas mengelola lahannya.
Hingga mengalami titik terang pada tahun 2016. Malansir setkab.go.id (30/12/2016), Masyarakat Adat Kasepuhan Karang menerima Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat seluas 486 hektar dari istana. Hal ini sebagai sinyal Masyarakat Adat Kasepuhan Karang mendapatkan aksesnya kembali dan bisa mengelola lahannya tanpa gangguan apapun.
“Makanya di sini, harus melihat apa dampak taman nasional? Apa manfaatnya bagi kita? Jangan-jangan manfaatnya buat kita tidak ada” pungkasnya.
Diketahui, Sesi seminar diawali dengan testimoni oleh beberapa narasumber yakni Een Suryani (Perempuan Adat Kasepuhan Karang), Daryono (Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Karya Lestari), Sera (Jaga Rimba), Wartam (Kepala Desa Ketenger, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah). Kemudian, para penanggap terdiri dari Sungging Septivianto, Dian Risdianto (Kepala Subdirektorat Pengendalian Pengelolaan Kawasan pada Direktorat Jendral KSDAE, Kemenhut) dan Dahniar Andriani (Perkumpulan HuMa Indonesia).
Penyelaras Akhir: Erwin Dwi Kristianto
0 Komentar
Tinggalkan Balasan