INFO NASIONAL – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menerbitkan keputusan terkait Kebijakan Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang dituangkan dalam SK No. 287/MENLHK/PLA.2/4/2022. Keputusan ini memberi harapan bagi petani yang menggantungkan hidup dan tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan, khususnya hutan Jawa.
Terobosan KLHK dalam pengelolaan hutan Jawa tersebut tidak berjalan mulus. Ketika Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR pada 13 April lalu, justru menolak keberadaan KepmenLHK No. 287 tersebut, dengan dalih perlindungan lingkungan.
Menurut Anggota Komisi IV DPR, Panggah Susanto, peralihan fungsi hutan bisa menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan pada hutan (Kontan.co.id, 13 April 2022). Sementara itu, anggota Komisi IV lainnya, Darori Wonodiporo, menyoroti aspek pembentukan peraturan perundangan. Kata Darori, pengaturan Perhutani dimuat dalam peraturan pemerintah, sehingga tidak tepat jika dicabut oleh keputusan menteri.
Hingga Desember 2019, Perkumpulan HuMa Indonesia mendokumentasikan 346 konflik sumber daya alam dan agraria. Luas arealnya adalah 2.322.669,325 hektar, melibatkan 1.164.175 jiwa masyarakat adat dan lokal. Perkumpulan HuMa juga mencatat setidaknya 41 konflik terjadi di Jawa, dan erkonflik dengan perhutani. Bukan hanya itu, dari luas wilayah kerja Perhutani yang mencapai 2,4 juta hektar hanya 30 persen yang dikelola secara produktif oleh Perhutani. Bahkan saat ini hampir 14 ribu hektar wilayah kerja perhutani telah jadi pemukiman.
“Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penguasaan lahan oleh perhutani tidak efektif,” kata Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia. Sudah saatnya pemerintah merasionalisasi luas lahan perhutani, dan memprioritaskan akses masyarakat. Karena itu rekonfigurasi hutan jawa harus dilakukan. Salah satunya dengan Kebijakan Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Deputi Program Perkumpulan HuMa Indonesia, Erwin Dwi Kristianto, mengatakan bahwa pernyataan anggota Komisi IV dengan alasan untuk perlindungan lingkungan tidak sepenuhnya tepat. Jika melihat lahan produktif yang hanya 30 persen, maka dapat dibayangkan betapa luas lahan yang tidak terkelola.
“Justru, dengan membuka ruang akses bagi masyarakat melalui skema perhutanan sosial akan memaksimalkan pengelolaan lahan atau hutan yang selama ini tidak produktif. Untuk 13 ribu pemukiman yang diidentifikasi masuk wilayah perhutani, harus didorong masuk skema tanah objek reforma agraria dan dikeluarkan dari kawasan hutan,” ujar Erwin. (*)
sumber : https://nasional.tempo.co/read/1587620/pendapat-huma-pada-polemik-kepmenlhk-287
0 Komentar
Tinggalkan Balasan